Hari
8 : 4 April 2013
Saya aduk-aduk
salad dalam piring dengan tatapan kosong. Sosis pun nasibnya kurang beruntung
karena saya tusuk-tusuk terus.
"Kenapa
nggak dimakan?" tanya Bertrand sambil mengunyah roti.
"Males ah, makanannya nggak enak. Nggak napsu makan," jawab saya asal.
"
Apanya yang nggak enak ? Lumayan koq...udah makan, jangan rewel.”
Ah,
terus terang saya bingung melihat Bertrand. Di kala sakit seperti sekarang ini,
napsu makannya tidak berubah. Jangan-jangan hanya kamuflase? Hanya karena ia
ingin menunjukkan pada semua orang bahwa keadaannya baik-baik saja? Atau apa
dia sedang berusaha menjaga berat badannya supaya tidak merosot turun?
Beda
banget dengan saya yang dikendalikan oleh mood.
Saat galau seperti sekarang ini, mana ada selera makan? Namun akhirnya saya paksakan saja makan sereal campur susu supaya maag saya tidak kambuh.
Pada
pukul 10 pagi, kami sudah berada di klinik Prof. Philip Eng. Pertemuan kami ini
untuk membicarakan persiapan biopsi pukul dua siang nanti. Profesor juga
memperlihatkan hasil tes darah yang dilakukan pada tanggal 2 April kemarin.
Buru-buru saya cari bagian Tumour Marker Studies. Disana tertera
:
Result
|
Reference
|
|
AFP
|
< 1.3
|
( 0.0 - 15.0 )
|
CEA
|
1.2
|
( 0.0 - 5.0 )
|
CA 19-9
|
11.1
|
( 0.0 - 37.0 )
|
PSA Total
|
1.15
|
( 0.00 - 4.00 )
|
Sebenarnya
saya tidak mengetahui arti dari huruf-huruf di kolom pertama, tapi melihat
angkanya semua masih dalam batas normal, saya langsung gembira bukan kepalang.
"Dok, tumor maker-nya bagus semua. Artinya Bertrand tidak kanker, kan?" tanya saya penuh harap.
"Belum
tentu. Kanker dini tidak bisa terdeteksi sepenuhnya oleh hasil test darah. Hasil
test darah tadi bisa menunjukan adanya indikasi kanker hati, kanker usus besar,
kanker pankreas. Tetap harus biopsi untuk tahu pasti benjolan itu apa," jawab
Profesor dengan tegas.
Seketika
juga hilang sudah rasa gembira diganti rasa cemas lagi.
"Sekarang
Bertrand boleh ke lantai 2 untuk registrasi opname. Karena kalian hanya sehari
saja, nanti diberikan ruangan di Daily Treatment. Untuk jelasnya nanti
bagian registrasi akan jelaskan. Nanti jam dua siang, saya akan ke tempat
biopsi. Good luck ya...don't worry too much. Cuma ditusuk needle kecil saja koq. Sementara
Bertrand menunggu di ruang opname, nyonya bisa ambil hasil PET Scan dan segera
berikan pada saya."
Waktu
terasa sangat lambat. Registrasi sudah beres dan Bertrand pun sudah mendapatkan
tempat di salah satu ruang Daily
Treatment. Ruangannya seperti ruang opname biasa, terdiri dari 2 ranjang
yang dipisahkan oleh tirai pembatas, ada loker buat menaruh barang dan TV untuk
membunuh waktu. Papa dan Mama duduk di sebelah ranjang dan saya pamit untuk
mengambil hasil PET Scan di lantai 1.
Dari
ujung lorong menuju Radiology Centre, saya melihat neneknya Aisah di depan
pintu. Setengah berlari saya hampiri beliau.
"
Bagaimana hasilnya Aisah, Nek? Benjolan di perut itu apa?"
"Hasilnya
sudah keluar barusan. Lagi dibawa sama anak saya dan dokter Indonesia ke dokter
yang mau operasi Aisah. Hasilnya Nenek kurang ngerti. Mau bagus atau jelek,
hari ini pasti dioperasi " jawab Nenek
"Semoga
operasinya lancar ya, Nek. Saya akan doakan Aisah juga," kata saya.
Tiba-tiba
perasaan senasib dan saling simpati melingkupi kami, sehingga kami berpelukan
dan menangis bersama.
Setelah
Nenek pergi menyusul Aisah, saya segera masuk ke ruang Radiology. Hasil PET
Scan sudah selesai. Bagian administrasi menyerahkan kantong plastik besar
bertuliskan Parkway Health dan di dalamnya ada amplop besar cokelat.
Secepat
mungkin saya keluarkan hasil PET Scan. Hasil PET Scan berupa print out kesimpulan dan berbagai gambar-gambar. Segala macam
gambar tidak saya perhatikan. Mata saya segera mencari-cari kesimpulan.
Impression
:
1.
Hypermetabolic left pulmonary mass is consistent with a pulmonary malignancy.
2.
Hypermetabolic bilateral mediatinal modes are suspicious of nodal metastasis.
3.
No evidence of hupemetabolic hepatic, adrenal or skeletal metastasis
Hah?
What...what? Konsisten dengan kanker
ganas paru??? Nodal metastasis? Bukannya itu artinya penyebaran getah bening?
Sudah jelas Bertrand mengidap kanker. Seketika itu juga langit terasa runtuh.
Tanganku sampai bergetar memegang hasil PET Scan.
Di
hadapan saya ada suster keturunan India yang biasa melayani pasien-pasien di Radiology
Centre. Mukanya sangat ramah, sehingga saya memberanikan diri bertanya padanya.
"Suster....hasil
PET Scan suami saya jelek. Di sini dokter kanker paru siapa yang paling bagus?"
tanya saya sambil terisak.
"Maam,
di sini semua dokter bagus. Saya tidak boleh kasih rujukan. Nanti dokter yang
menangani Mr. Bertrand akan kasih rekomendasi."
"Sekarang
saya harus bagaimana ? Saya benar-benar takut. Saya nggak bisa cerita hasil ini
juga ke suami dan mertua saya. Mereka sekarang sedang diatas karena suami saya
mau dibiopsi."
Suster
India itu merangkul saya dan berkata, "Maam,
dahulu orang takut sekali dengar kata kanker. Sekarang teknologi sudah maju,
banyak yang sembuh. Keep in faith and
always pray. Saya akan bantu doakan suami Maam."
Rasanya
sedih dan hancur sekali. Saya hanya bisa menangis tersedu-sedu di bangku
panjang tempat ngobrol dengan Om Bandung. Tak kuhiraukan orang yang lalu lalang
memperhatikan saya.
Saat
ini perasaanku sangat galau. Ingin sekali rasanya menelepon Mami, Cici, atau
Lany kalau saja tidak takut mereka akan makin khawatir. Terlintas satu nama
yang tepat di benak saya. Lucia. Ya, saya akan menelepon Lucia.
Rosi : " Luciaaaaaa…hiks…hiks…huaaaaaaaaaaaa."
Lucia : " Roooossss? Ih, kenapa?
Bertrand kenapa?"
Rosi : " Huaaaaa
huhuhuhu...." ( Nggak bisa berkata apa-apa.)
Lucia : " Yah, jangan nangis
dong. Jadi pengin nangis juga..huhu hu huaaaaaa."
( Kami berdua menangis di telepon. Lucia ikut
nangis, padahal saya belum cerita apa-apa )
Rosi : "Hasilnya jelek, Lus.
Katanya konsisten dengan kanker ganas paru. Udah nyebar juga ke getah bening.
Gimana ini? Hiks…hiks huhuhuhu."
Lucia : "Ya ampun...hiks hiks…,gimana
dong? Tunggu hasil biopsi aja biar pasti. Ntar ya gua kasih resep daun sirsak
tambah ramuan China. Dulu si mamih minum itu. Lu di mana sekarang? Mertua lu
ama si B dimana?" ( Berkata sambil menangis )
Rosi : "Gua di depan tempat
ambil PET Scan. Si B ama mertua di atas, kan mau dibiopsi ntar jam 2. Lagi
diruang Daily Treatment. Ini mau ke Profesor dulu kasih hasil PET Scan."
Lucia : "Lu mau gua temenin? Gw
cari tiket ya? "
Rosi : “Nggak usah Lus...ada Papa sama Mama koq di sini. Lagian kalo lu kesini,
sapa yang jaga anak-anak lu? "
Lucia : "Duuhh...ya udah deh, lu
bae-bae di sana. Jangan keliatan si B kalo lu nangis. Ntar dia jadi stres. Gua
kasih tau anak-anak De Elite ya biar bantu doa."
Selesai
telepon dengan Lucia, saya segera ke toilet. Menangis tersedu-sedu dalam WC. Setelah
itu aku pun mencuci muka dan dandan lagi. Bedak, eye shadow dan lipstik kupoles
tebal-tebal. Biarin menor juga, yang penting jangan sampai Papa, Mama dan
Bertrand tahu kalau saya sudah lihat hasil PET Scan yang jelek itu.
Hasil
PET Scan sudah diberikan pada Ms. Felice dan dengan lesu saya berjalan ke arah
kamar Bertrand. Begitu keluar lift kulihat Papa sedang menyendiri. Badannya
bersandar pada dinding, kepalanya tertunduk lesu, mukanya terlihat sangat sedih
dan khawatir. Kasihan Papa...seharusnya di usia beliau yang 78 tahun, Papa seharusnya
merasa tenang, bukannya khawatir seperti ini
Papa
pun melihat saya dan bertanya, "Gimana hasil PET Scan-nya, bagus?"
"Nggak
tau Pap, amplopnya ditutup. Saya langsung kasih Profesor," kata saya
berbohong. ( Maaf ya Pap, saya
bohong. Abis harus gimana lagi?)
"Pap,
jalan-jalan yuk. Di bawah rasanya ada klinik kanker, mungkin dokternya jago,
soalnya saya lihat ramai sekali. Daripada disini ...Bertrand masih lama tunggu
biopsi," bujuk saya.
Selama
di Mount E, saya sering kali melewati Parkway Cancer Centre ( PCC ) di lantai
2. Di depan pintu masuk tersebut ditulis berderet daftar dokter kanker. Saya
suka melongok ke dalam dan melihat banyak orang duduk di sana.
Setiap
melewati PCC saya selalu berdoa dalam hati, "Ya Tuhan, jangan sampai saya
harus masuk sana mengantar Bertrand. Bunda Maria, bantu doakan saya." Atau
kadang-kadang saya berkata amit-amit 7 turunan, jangan ada saya atau keluarga
saya yang masuk ke sana.
Sekarang
kenyataan berkata lain. Hasil PET Scan ternyata jelek. Saya harus siap-siap
menghadapi keadaan terburuk sekali pun. Saya harus mulai cari info dokter
kanker paru yang tepat. Tidak ada waktu lagi untuk menangis meratapi diri. Apa pun
harus ditempuh agar Bertrand sembuh.
Dalam
ruang PCC kami disambut oleh wanita setengah baya. Dengan singkat kami
ceritakan keadaan Bertrand dan menanyakan apakah ada rekomendasi dokter kanker
paru yang bagus. Wanita itu menyebutkan dokter X - yang merupakan dokternya Om
Bandung dan papinya Jane. Hmmm, saya akan googling dan tanya pada orang lain,
kira-kira ada tidak dokter kanker paru lain selain dokter X ini. Entah mengapa
saya rasanya tidak sreg dengan dokter X.
Ruang
Biopsi
Sudah hampir satu jam Bertrand
terbaring di ranjang. Ranjang itu terletak di bangsal, antara ranjang
dipisahkan oleh tirai putih. Jumlah ranjang ada 3 buah. Bangsal itu adalah tempat
para pasien menunggu proses biopsi atau setelah dibiopsi.
Tadi saat
di ruang Daily Treatment, Suster sempat menawarkan agar Bertrand menggunakan
kursi roda untuk menuju ke lantai 1. Namun Bertrand menolak karena merasa masih
sanggup untuk berjalan. Katanya, jangankan berjalan, lari di treadmill dengan
kecepatan tinggi selama setengah jam pun masih sanggup.
Selama satu
jam menunggu Bertrand, saya hanya bisa mondar-mandir di sisi ranjang Bertrand,
jalan ke sofa tunggu, ngobrol sama Papa dan Mama, atau mengintip jendela tempat
biopsi.
Yah, sebenarnya percuma juga mengintip
tempat biopsi karena jendelanya tertutup tirai dan pintu tertutup rapat. Namun
jikalau ada dokter atau suster keluar dari pintu, saya suka melongok ke dalam.
Akhirnya setelah menunggu kurang
lebih satu jam, Bertrand akhirnya
mendapat giliran dibiopsi. Ada dua perawat yang mendorong ranjang.
"Good luck, huni....pasti
bagus koq hasilnya," kata saya sambil mencium dahi Bertrand. Bertrand hanya
tersenyum dan mengacungkan jempol.
Proses biopsi berjalan kurang lebih
45 menit. Selama menunggu saya memeriksa Blackberry yang sejak pagi tidak sempat saya
sentuh. Banyak sekali BBM masuk dari keluarga, para sepupu, semua teman di De
Elite dan para suami, teman di sekolah anak, guru-guru les, teman kantor, dan
berbagai teman lainnya. Hampir semua menanyakan keadaan Bertrand, memberi doa
dan dukungan.
Ko Alva
termasuk salah satu yang paling rajin mengirim BBM untuk menanyakan keadaan
Bertrand. Saya pun membalasnya, mengatakan bahwa Bertrand masih dalam pemeriksaan,
belum ketahuan hasilnya. Dan saya pun mengungkapkan kecemasan saya. Ko Alva
berusaha menghibur saya. Jangan khawatir, nanti kita cari jalan terbaik, begitu
isi pesan BBM-nya.
Ada juga BBM
dari Christina, sepupu Bertrand di Malang. Di mengirim pesan WhatsAp. OMG...OMG...Ros...gua baru tau
keadaan Etan (Nama panggilan Bertrand di keluarga ). Pokoknya lu harus kuat.
Gua yakin lu pasti bisa. Begitu pesan darinya.
Fony, istri
Aming menghibur saya lewat pesan BBM dengan menulis: Ci, harus yakin ko Bertrand sembuh. Semua
baik-baik aja. Jangan terlalu khawatir. Berdoa aja sama Tuhan. Dia Jehovah
Rapha. (Saat itu saya nggak tau apa arti Jehovah Rapha. Langsung saya
cari tahu, ternyata artinya Allah Penyembuh )
Lalu ada Helen, teman baik saya dan
Bertrand. Dia menulis di BB group De Elite "Ladies...tiap malam jam 10 doa bareng ya. Kita semua berdoa buat Bertrand. Anak-anak diberesin dulu,
yang ada bayi ditetein dulu. Awas loe ya, jangan ada yang kelupaan. Gw ingetin
tiap malem jam 10." Anggota group lainnya mengiyakan dengan semangat.
Perhatian dan dukungan seperti ini
sungguh-sungguh membuat saya terharu. Ternyata banyak sekali orang-orang di
sekitar yang benar-benar sayang pada kami.
Tiba-tiba Mama berkata, "Hari
Sabtu kita pasti pulang, ya. Minggu kita ke acara lamaran Aldo. Hari Senin
subuh balik Singapore lagi. Selasa kita pulang ke Jakarta. Kalau Bertrand
kanker, dia pasti harus kemoterapi. Nanti kita pikirin lagi jadwalnya
bagaimana."
"Kalau sekali kemoterapi itu berapa hari,
Mam?" tanya saya sudah benar-benar pasrah.
"Paling di Singapore 2-3 hari
kali ya. Mama juga kurang tau," jawab Mama.
Saya hanya bisa terpekur. Rasanya
bingung sekali. Sekarang saya hanya bisa pasrah. Benar-benar tidak tahu harus
bagaimana lagi.
Sementara pikiran masih
berputar-putar tak menentu, saya melihat sekeliling. Banyak juga orang-orang di
ruangan ini. Di sekitar tempat duduk saya saja ada tiga perempuan yang sedang
duduk juga. Mendengar mereka berbicara, saya tahu mereka dari Indonesia juga.
Saya nggak ada niat sama sekali untuk mengajak mereka ngobrol.Nggak mood.
Biasanya saya sangat suka ngobrol.
Kayaknya sih hobi ngobrol sudah tertanam sejak saya masih dalam kandungan.
Waktu SD, sering Mami dipanggil wali kelas saat bagi rapor. Bukan karena nilai.
Nilai-nilai saya selalu diatas rata-rata walau tidak rangking. Kata Mami, wali kelas suka protes
karena saya hobi ngobrol dan jalan-jalan dalam kelas. Mami sampai malu kalau
dipanggil wali kelas.
Rosi bukan Rosi lagi sekarang.
Biasanya setiap ada orang pasti saya ajak
ngobrol. Apalagi sesama dari Indonesia. Sekarang saya masa bodoh. Biarin sajalah,
mau dari Indonesia, dari Kutub Utara juga, terserah. Percuma ajak ngobrol,
mereka ada kesulitan sendiri. Saya juga lagi pusing.
Sudah hampir satu setengah jam Bertrand di
dalam tempat biopsi. Begitu ranjang Bertrand keluar dari ruang biopsi, saya
bertanya mengapa begitu lama. Bertrand menjelaskan alasannya karena menunggu
dokter biopsi dan Profesor Phillip datang.
Ada plester
besar di dada Bertrand. Kata Bertrand sih tidak sakit, mungkin pengaruh obat
biusnya masih ada. Bertrand disuruh beristirahat sebentar di bangsal. Menunggu
beberapa saat untuk dipindahkan kembali ke Daily Treatment.
Selama Bertrand beristirahat, saya
dan Papa berdiri, bersandar di dinding. Mama masih duduk di sofa. Tiba-tiba
salah seorang dari tiga perempuan yang tadi duduk di sofa menyapa saya.
Sonya : "Hai, dari Indonesia juga ya ?
Siapa yang sakit?"
Rosi : "Oh hai, iya kami dari Jakarta. Yang
sakit suami saya, baru saja dibiopsi. Ada benjolan di paru.”
Perempuan ini berambut panjang,
mukanya manis sekali dan umurnya mungkin hanya sedikit lebih tua dari saya.
Sonya :
"Nama saya Sonya, saya sedang mengantar Deasy, teman saya berobat. Kami
dari Palu.”
Rosi : "Saya
Rosi. Temannya sakit apa?”
Sonya :
"Deasy lagi cek paru-parunya juga. Biasanya yang antar suaminya, tapi
sekarang suaminya sedang mengantar mamanya. Jadi Deasy minta saya dan guru
mengantar. Guru saya itu dokter, dia banyak di Belanda. Rosi apa percaya sama
Yesus? "
Rosi : "Percaya
dong, saya dari bayi sudah dibaptis Katolik "
Sonya :
"Saya Kristen. Mau dibantu didoakan nggak? "
Saya pun
mengiyakan. Menurut saya, agama Katolik dan Kristen pada dasarnya sama saja. Kami
percaya bahwa Tuhan Yesus adalah satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan.
(Belakangan saya baru
tahu bahwa mereka bertiga mengamati kami. Mereka melihat kepanikan di wajah
saya, Papa dan Mama ketika berdiskusi tentang pulang ke Jakarta atau tetap di
Singapore menunggu hasil biopsi. Diam-diam mereka mendoakan kami dan akhirnya
Sonya diutus untuk mendekati saya karena Sonya pernah melewati badai seperti
ini.)
Kami pun bercakap-cakap selagi
Bertrand diantar kursi roda menuju ke ruang Daily Treatment. Sonya pun memperkenalkan
saya dengan Deasy dan Bu Natalia Pabisa (Bu Ata ).
Deasy dan Bu Ata berpisah karena
Deasy harus menemui dokter. Papa dan Mama mendampingi Bertrand ke ruangan Daily
Treatment. Saya dan Sonya masih bercakap-cakap di lobi.
Sonya : "Dahulu saya kena
kanker indung telur. Kankernya sudah menyebar ke paru-paru. Ada beberapa titik
kanker di paru-paru, paling besar 17.5 mm. Kadang dada rasanya sakit sekali
seperti diiris-iris.”
Rosi : "Waduh,
udah sempat kemoterapi dong? Boleh bantu sharing
pengalamannya?" (Kesaksian
Sonya merupakan salah satu dasar dari penulisan kisah ini. Saya merasa dihibur
dan dikuatkan iman oleh kesaksiannya.)
Sonya : "Awalnya begitu tau
ada indikasi kanker, saya takut sekali. Anak-anak masih kecil, baru berumur 8
dan 3 tahun. Masih sangat bergantung sama saya. Dari situ saya terus berdoa.
Saya minta jangan kanker. Ternyata saya positif kanker. Saya minta jangan sampai
saya dioperasi. Ternyata saya harus dioperasi angkat kandungan dan indung
telur. Saya minta jangan sampai harus kemoterapi. Ternyata kanker sudah
menyebar dan saya harus kemoterapi. Terakhir kali saya minta jangan sampai
gara-gara kemoterapi, rambut saya rontok. Ternyata saya mengalami kebotakan.
Disitu saya bilang sama Tuhan, koq semua yang diminta tidak ada yang dikabulkan."
Saya terperangah mendengar cerita
Sonya, karena dari penampilan fisiknya sangat cantik dan segar. Tidak ada
tanda-tanda pernah kanker, kemoterapi bahkan mengalami kebotakan.
Sonya :
"Pertama kali saya di kemoterapi, rasanya sudah tidak ada rasa lagi, tidak
ada perasaan, tidak ada jiwa, dan tidak bisa nangis lagi. Lalu pada saat
berbaring mau pasang slang, saya mendengar suara yang lembut sekali .....
AnakKu, ini
tidak akan membawa kematian
tetapi kemulian bagiKu. Jika engkau
sungguh-sungguh hidup dalam kebenaranKu, ini tidak akan lama. Hanya 6 bulan saja.
Sejak saat itu Sonya menjalani kemoterapi. Setelah beberapa
kali kemoterapi, dokter menyarankan agar Sonya mengambil kemoterapi high dosage di mana dengan dosis tinggi
semua sel dalam tubuh akan dimatikan. Sel baik maupun sel jahat. Apabila memakai high dosage maka sel darah putih
pun akan berkurang menjadi hampir 0%.
Kalau Sonya mengambil high dosage, dia diharuskan tinggal di
Singapore selama 1.5 bulan. Sebagai seorang ibu, mana bisa dia meninggalkan
anak-anaknya yang masih kecil. Biayanya pun aduhai...lima kali lipat. Saat di
rumah sakit, Sonya melihat orang-orang yang mengambil high dosage bisa merintih-rintih kesakitan dan badannya lemas.
Sampai ada yang jalan terbungkuk-bungkuk menyeret kaki atau duduk lemas di
kursi roda karena tidak ada tenaga. Jelaslah,
semua sel dimatikan, bagaimana tidak seperti zombie, pikir saya.
Pada saat Sonya ditawarkan high dosage, Sonya menghitung dalam hati
bahwa sejak sakit sampai saat ini sudah 6 bulan. Sonya lalu berkata pada Tuhan,
"Ya Tuhan, saya tidak mampu lagi. Ini semua di luar kekuatan saya. Saya nggak
mampu lanjut lagi. Saya mau berhenti. Cukup sampai disini, Tuhan."
Iman Sonya timbul dan begitu kuat. Ia
yakin sekali harus melepaskan sesi kemoterapi. Sonya menguatkan hati dan terus
menguatkan hati padahal dokter sudah mengingatkan segala risiko kalau dia berhenti
sekarang. Dengan berbekal iman dan tanpa rasa takut sama sekali, akhirnya Sonya
benar-benar menghentikan kemoterapi.
Lalu apa yang terjadi? Yes, luar
biasa. Tuhan benar-benar menggenapi janji-NYa. Sonya terlepas dari penyakitnya.
(Baru bulan lalu, pada Januari 2014, saya ketemu Sonya di Sentul. Masih hidup,
sehat, ceria, dan sangat cantik. )
Bunyi ponsel Sonya membuyarkan keterpakuanku.Ternyata
Deasy menelepon Sonya, memintanya segera menyusul ke ruang dokter. Sonya lalu
berkata pada saya, "Nanti jam 4 ketemu lagi ya di ruang biopsi. Kami nanti
akan bantu doakan Bertrand. Saya mau ke Deasy dulu sekarang." Setelah
bicara itu, Sonya bergegas setengah berlari meninggalkan saya.
Saya pun menuju ruang Bertrand untuk
menemaninya beristirahat karena nanti pukul 4 Bertrand harus balik ke ruang
biopsi untuk di ronsen. Hal ini perlu untuk melihat apakah ada udara yang masuk
pada saat jarum biopsi menembus tubuh. Karena kalau ada udara yang masuk bisa
berbahaya.
Lobby
Mount Elizabeth Hospital
Duduk sambil main Blackberry.
Berdiri mengitari lobi. Ambil minum di galon. Duduk lagi, berdiri lagi lalu ke
WC. Hanya itu yang saya lakukan sedari tadi. Bertrand, Papa, dan Mama sih duduk
manis di sofa. Akhirnya lama-lama saya bosan dan memutuskan untuk duduk manis
saja sambil mengamati orang-orang lalu lalang.
Setengah jam...sejam....sejam lebih
15 menit...sejam lebih 30 menit...hampir 2 jam!! Batang hidung Sonya belum
kelihatan juga. Jangankan hidungnya, bayangan baju merahnya saja nggak
keliatan. Duuh...mana tadi nggak sempat tukeran no ponsel dan pin BB. Lupa
nanya juga Deasy ditangani oleh dokter siapa. Coba kalau saya tahu nama
dokternya, saya bisa lacak keberadaan mereka.
"Pap, gimana? Mau tetap nunggu
atau kita pulang hotel aja?" tanya saya pada Papa. Sebenarnya saya ingin
menunggu mereka, tapi saya nggak enak hati sama mertua yang sudah duduk lama
menunggu.
"Tunggu aja, nggak apa, lagian
di luar hujan." Saya pun menoleh ke luar kaca, Oh, benar, ternyata hujan
sudah mulai turun.
Sungguh
tersentuh saya mendengar jawaban Papa. Saya tahu pasti Papa sangat khawatir
akan kesehatan Bertrand. Di saat seperti ini, memang hanya bantuan doa yang
kami butuhkan.
Jarum jam di pergelangan tangan saya
hampir menunjukkan pukul 6 sore. Langit sudah gelap ditambah hujan yang semakin
deras. Lobi pun sudah hampir kosong melompong. Rasa sedih, senewen, dan putus
asa makin terasa.
"Ros, isiin botol minum Mama.
Ini teman kamu rasanya nggak muncul. Kalau hujan berhenti kita pulang aja.
Makan trus istirahat. Kalau jodoh, besok pasti ketemu. Hotelnya deket kita kan?"
Mama berkata sambil memberikan botol minumnya.
Saya pun mengiyakan dengan lesu.
Sonya memang tidur di York Hotel, di depan hotel Elizabeth tempat kami
menginap. Kalau sekarang nggak muncul, nanti malam akan saya tongkrongin di
lobi hotel. Entah mengapa saya benar-benar ingin ketemu Sonya.
Namun, baru saja saya membalikkan
badan dari galon air, saya melihat ketiga perempuan yang ditunggu-tunggu tengah
berjalan menghampiri saya.
"Sonyaaaaaaaa!" teriak saya penuh
kelegaan.
"Hai, sori, nunggu lama ya?”
tanya Sonya sambil sanyam senyum. ( Ternyata mereka juga mencari saya karena
sudah berjanji)
Udah
tau lama, pake nanya pula, pikir saya. Saya sudah hampir nangis menunggu
mereka. Namun aku tetap memasang senyum manis. " Mmmm...nggak juga koq,
sekalian nunggu hujan. Koq di atasnya lama, ada masalah ya? Deasy gimana kata
dokter?"
"Oh, saya baik-baik saja. Hati
saya penuh suka cita dan bernyanyi. Saya tidak sakit, sudah sembuh. Tadi lama
karena harusnya dengan dokter A. Tapi
waktu kami ke atas, dokternya di ganti dengan dokter B, jadi kami harus
menunggu agak lama. Beli obat juga lama. Maaf ya lama menunggu,"
terangnya.
Kami pun duduk di sofa di lobi
tersebut. Saya memperkenalkan mereka pada Bertrand, Papa dan Mama. Sonya
berkata bahwa Bu Natalia Pabisa ( Bu Ata ) adalah mentornya dan Deasy teman
pelayanan. Deasy berasal dari Palu, sama
seperti Sonya.
Bu Ata
adalah seorang dokter yang dulunya bekerja di Ambon melayani pengungsi korban
konflik. Setelah itu beliau mengambil Master
of Disaster Management di Belanda
dan pulang ke Indonesia menjadi medical
coordinator di lembaga kemanusiaan. Jadi, kalau ada bencana gempa, tsunami,
perang suku, atau bencana apapun, beliau pasti yang diutus.
Bu Ata bercerita bahwa dari kecil
dididik dengan ajaran Kristen taat bahkan harus menghapal ayat setiap malam
oleh papanya. Saat itu Bu Ata tidak mengerti mengapa dia harus susah payah
menghapal ayat. Tapi Bu Ata akhirnya baru merasakan firman itu benar-benar
nyata pada saat kerusuhan Ambon.
Pada saat kerusuhan di Ambon, para wanita dan anak kecil mengungsi ke
hutan. Bu Ata juga ikut ke hutan. Tengah malam semua kelaparan karena tidak
adanya persediaan makanan. Punya uang berapa pun di dompet tidak ada artinya
karena tidak dapat dibelikan apa-apa. Ditengah
kelaparan dan mencekamnya malam, Bu Ata dipanggil pak pendeta. Bu Ata diminta
mengobati 24 orang yang sakit karena perang suku.
Ada yang mukanya tertembus tombak,
ada yang kena clurit, ada yang badannya penuh luka. Mengerikan sekali keadaan
pada waktu itu. Bu Ata harus mengoperasi mereka. Di hutan tidak ada instrumen
untuk operasi, anastesi, obat tahan sakit, maupun antiobiotik. Semua nihil.
Ditengah keputus asaan karena situasi yang minim fasilitas dan melihat
orang-orang kesakitan, Bu Ata teringat satu ayat :
"Tetapi sesungguhnya penyakit kitalah
yang ditanggungNya..." ( Yesaya 53:4 )
Berkatalah beliau pada Tuhan...Ya Tuhan, bila
firman itu nyata, buatlah agar orang-orang tidak berteriak-teriak ketika
dioperasi. Biar kuasa Tuhan membuat para korban kebal seperti mendapat obat
anastesi / morfin dengan dosis berlipat. Hanya berbekal benang dari jala-jala
yang direbus, bu Ata pun mulai menjahit luka para korban. Dimuliakanlah nama
Tuhan, tidak ada satu orang pun yang berteriak.
Setelah Bu Ata meninggalkan
Ambon, setelah 3 tahun bekerja di pengungsian, 24 orang tersebut masih hidup
dan sehat. Sejak kejadian itu bu Ata benar-benar sadar bahwa firman itu hidup.
Firman Tuhan tidak pernah salah.
Begitu takjub saya mendengar cerita
tersebut. Apalagi Bu Ata juga sempat menceritakan beberapa kisah orang sakit
yang sembuh karena iman, doa, dan firman. Perasaan yang galau gara-gara melihat
hasil PET Scan jelek itu berkurang, rasanya ingin sekali dikuatkan oleh doa.
Bertrand pun rasanya mempunyai perasaan yang sama. Bertrand menceritakan keluhan
penyakitnya pada Bu Ata dan kami pun diberi panah-panah firman.
Bu Ata berkata bahwa tidak ada yang
mustahil di hadapan Tuhan. Kami diingatkan tentang kisah Lazarus. Lazarus
sahabat Yesus, saudara Maria dan Martha sudah meninggal 4 hari dibangkitkan
oleh Yesus ( Yohanes 11 ). Tidak ada
yang tidak mungkin. Jangankan penyakit, kematian pun bisa dikalahkan Yesus
Bu Ata pun menyuruh Bertrand membaca
alkitab ( by iPad ). Isinya " Sebab Engkaulah yang membentuk buah
pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku " ( Mazmur 139:13).
"Nah,
oleh sebab itu janganlah khawatir. Kita diciptakan Tuhan dengan begitu
sempurna. Tangan Tuhan sendiri yang menenun Bertrand sejak dalam kandungan
mamamu," papar Bu Ata. Apa yang dibuat Tuhan tidak pernah ada cela, tidak
pernah ada cacat.
Bu Ata menerangkan bahwa banyak orang
sakit karena pola hidup yang salah. Lebih banyak lagi, sekarang orang sakit
karena pikiran dan hati yang tidak ada suka cita. Sakit hati, kepahitan, iri
dengki juga segala usaha balas dendam mendatangkan penyakit.
Bertrand sempat ditanya oleh bu Ata,
apa ada masalah di keluarga atau di kantor sehingga stres. Bertrand menjawab
bahwa kalau di keluarga tidak ada masalah. Hubungan dengan istri dan anak
baik-baik saja, dengan keluarga besar pun baik. Di kantor pun tidak ada masalah
yang berarti, hanya repot masalah kerja rutin biasa saja.
Bu Ata menuntun kami melakukan apa
yang ditulis dalam Alkitab. " Hendaklah kamu saling mengaku dosamu
dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh " (Yakobus 5:16 ).
Mengapa harus saling mengaku dosa dan
berdoa kalau mau sembuh? pikirku. Kenapa tidak langsung saja berdoa pada Tuhan
dan Bunda Maria supaya Bertrand sembuh? Toh sebenarnya Tuhan tau apa keinginan
kita sebelum kita minta.
Bu Ata sepertinya bisa membaca
pikiranku. Beliau menerangkan bahwa ada caranya untuk mendapatkan apa yang kita
minta, yaitu :
1. Asal tidak bimbang, tetapi percaya, apa yang
kita mau terjadi akan terjadi.
2. Apa yang kita minta atau doakan, percayalah
bahwa kita telah mendapatkannya.
3.
Jika kita meminta atau berdoa ingin sesuatu, ampunilah dahulu sesamamu.
( ketiga hal ini tertulis dengan jelas di Markus 11 : 22-26
).
Nah, bagaimana kamu mau doamu
dikabulkan apabila kamu masih menyimpan kesalahan orang lain? Saya langsung
menunduk terpekur. Saya tahu Bertrand orang yang sangat cuek. Hampir tidak
pernah memikirkan omongan orang lain, dia selalu positive thinking.
Artinya saya yang harus berubah. Sudah sedari hari Sabtu
saya berdoa, berteriak pada Tuhan, minta supaya Bertrand sembuh. Bagaimana doa
saya bisa dikabulkan apabila saya masih menyimpan hal-hal buruk di hati?
Sebagai orang yang suka sensian,
saya suka mengingat kesalahan orang lain, walaupun saya tidak pernah membalas
dendam. Candaan teman atau saudara yang menyinggung perasaan, saya masih ingat.
Merasa Mami suka pilih kasih, lebih sayang ke Cici dan Lany waktu saya masih
kecil, saya masih ingat. Teman kantor yang saya anggap adik sendiri mengkhianati
saya, itu terekam jelas sampai sekarang. Saya punya memori yang kuat untuk
mengingat segala kejadian. Kadang setiap perkataan yang menyakitkan, saya bisa
ingat sampai intonasi titik koma. Ckckck...luar biasa sekali buruknya saya.
Saya sadar itu adalah kekurangan
saya. Walaupun apabila ada orang yang baik pada saya, maka akan saya balas
berlipat kebaikannya. Bodoh sekali saya selama ini. Buat apa mengingat hal-hal
yang tidak penting seperti itu? Mungkin saja teman saya benar-benar hanya
bercanda, dan ia sudah melupakan semua hal itu. Dan Mami pasti tidak bermaksud
pilih kasih. Ya, bisa saja beliau lebih sering memarahi saya karena saya memang
anak yang nakal. Sedangkan teman kantor yang mengkhianati saya? Well, it’s love and hate relationship. Sebenarnya sampai detik ini pun saya masih sayang dengannya dan memaafkannya.
Akhirnya setelah kami bercakap-cakap dan mendengarkan firman, Bu Ata secara khusus mendoakan Bertrand. Matanya terpejam, tangannya terangkat ke atas dan doanya sungguh indah. Saya bisa merasakan Tuhan benar-benar hadir. Saya merasa damai sekali, apalagi diakhir doa, Bu Ata memberi peluru firman yang luar biasa sekali
Akhirnya setelah kami bercakap-cakap dan mendengarkan firman, Bu Ata secara khusus mendoakan Bertrand. Matanya terpejam, tangannya terangkat ke atas dan doanya sungguh indah. Saya bisa merasakan Tuhan benar-benar hadir. Saya merasa damai sekali, apalagi diakhir doa, Bu Ata memberi peluru firman yang luar biasa sekali
"Setiap tanaman yang tidak ditanam oleh BapakKu yang di
surga akan dicabut dengan akar-akarnya." ( Matius 15:13).
Luar biasa, sampai kapan juga ayat
ini akan saya pegang. Saya yakin 100%, benjolan di paru-paru Bertrand bukan
dari Tuhan. Tuhan amat baik dan sayang pada kami. Dia akan cabut apa pun itu
yang bukan berasal dari padaNya.
Setelah berdoa, saya pun tukera pin BB
dengan Sonya dan Deasy. Bu Ata sendiri hanya memberikan kartu namanya. BB-nya
sedang low batt kalau saya tidak
salah ingat. Sebelum berpisah, kami menawarkan makan malam bersama tetapi
mereka menolak karena mau kembali ke hotel sebelum makan malam. Kami pun
berpisah. Langit telah gelap sekali dan hujan pun sudah berenti.
Setibanya di hotel, hati terasa damai.
Saya dan Bertrand saling sharing. Ya,
kami memang suka bertengkar walaupun bukan karena masalah besar. Hanya cekcok
rumah tangga biasa yang masih wajar. Saya pun meminta maaf pada Bertrand.
Meminta maaf atas kata-kata saya yang mungkin kasar atau menyakiti hatinya.
Bertrand mengatakan bahwa tidak ada kata-kata kasar yang ia masukkan ke dalam
hati. Dia menganggap semua itu biasa saja. Namun saya tetap merasa wajib
meminta maaf. Bertrand pun meminta maaf karena merasa kurang perhatian, suka
berkata sinis saat marah dan kadang bisa diam seharian bila sedang merasa
kesal. Pendek kata, kami pun saling memaafkan.
Saat telah
berbaring di atas ranjang, tibat-tiba saja saya ingin bertemu dengan mereka
lagi. Tapi sungkan rasanya. Mau minta pin BB Bu Ata juga malu. Saya takut
menganggu. Terus terang, walau saya beragama Katolik, saya pun mempunyai
kenalan hamba Tuhan dan pendeta. Entah kebetulan atau tidak, mereka yang saya
kenal sifatnya sombong dan hamba uang. Jadi, terkadang saya suka berpikiran negatif
pada mereka. Jabatan yang tidak sesuai dengan perilaku, begitu anggapanku.
Namun
mereka bertiga sungguh berbeda. Penampilan mereka biasa-biasa saja. Tidak ada
sedikit pun nada sombong terdeteksi dalam kata-kata Bu Ata dan Sonya saat
mereka bersaksi. Deasy pun sangat ramah dan rendah hati. Saya sangat senang
bisa berkenalan dengan mereka.
Akhirnya
saya tutup hari ini, seperti biasanya, dengan doa pribadi, Doa Novena Tiga
Salam Maria dan doa Mujijat. Tapi hari ini rasanya berbeda sekali karena dalam
doa pribadi, saya benar-benar minta maaf sama Tuhan karena masih
mengingat-ingat kesalahan orang lain. Saya berjanji akan berusaha memaafkan
mereka dengan tulus.
Sonya, Rosy, Deasy, Bu Natalia, Mama & Papa
(taken by Bertrand)
(taken by Bertrand)
Rosii... Tuhan benar-benar sayang sama dikau, Bertrand, dan keluarga... blog yang bagus.. membuat aq bisa membayangkan waktu dikau di Mount E (sedih rasanya)... Semoga blog ini bisa membantu banyak orang dan menjadi berkat buat orang lain... dan kutunggu ceritanya hingga hari ke12 ya...muah muah..
BalasHapusThanks sudah baca blog ini ya. Setiap hari akan di post sampai hari ke 12 dan penutup.
BalasHapus