Kamis, 03 April 2014

Hari 7 : 3 April 2013



Hari 7 : 3 April 2013

            Alarm berdering pada pukul empat dini hari. Hoaaammm....ngantuknya. Semalam saya lagi-lagi tidur larut karena sibuk browsing mengenai PET Scan dan biopsi. Dan waktu yang tersisa saya habiskan untuk berdoa karena saya memang tidak bisa tidur. Tidak jelas juga saya tertidur jam berapa, tidak ada pukulan tiang listrik disini ...hehehe...
       Bertrand pun segera terbangun dan makan ToriQ yang kami beli semalam. Kami sama-sama tidak bisa tidur malam ini. Bertrand harus puasa tidak makan dan minum selama enam jam sebelum dilakukan PET Scan.
          Kantuk tidak dapat saya tahan, saya pun hanya mampu membuka mata sebentar, melihat Bertrand makan dan entah bagaimana, saya tertidur lagi hingga pukul tujuh pagi.
           Pada pukul sembilan pagi kami sudah tiba di Mount Elizabeth Hospital. Saya dan Bertrand langsung menuju Radiology Clinic di lantai 1 sedangkan Papa dan Mama menuju ke Delifance Café di lantai 2.
Setelah melakukan registrasi ulang kami disuruh menunggu di depan pintu. Di bangku  panjang itu ada seorang bapak berumur sekitar 60 tahun ( Sebut saja Om Bandung ) beserta anaknya yang berusia di awal dua puluhan. Di ujung bangku lainnya ada seorang nenek berkerudung dan berpakaian sangat sederhana tengah memangku anak batita.
            Sambil menunggu waktu, saya ajak bapak itu bercakap-cakap :
Rosi                    : "Dari Indonesia juga ya, Om? Saya dari Jakarta."
Om Bandung   :  "Iya, dari Bandung. Siapa yang check up?"
Rosi             :  "Sama dong, Om... saya juga dari Bandung. Setelah nikah baru pindah ke Jakarta. Ini suami yang mau PET Scan paru, ada benjolan. Om, siapa yang sakit?"
Om Bandung  : "Om kemarin PET Scan, sekarang lagi tunggu hasilnya. Om kena kanker usus. Dulu waktu awal kena sudah stadium 3."
Rosi                    : "Pake dokter siapa Om? Kemoterapi nggak ? "
Om Bandung :  "Om pake dokter X ( maaf, saya nggak berani sebut ). Iya dong di kemoterapi, udah bulak - balik."
Rosi                  : "Wah Om, teman dekat saya si Jane, papinya juga kena kanker usus. Selama sakit berobat dengan dokter X. Dengar-dengar sih dokternya memang terkenal tapi matre. Sebentar-sebentar bilang ada penelitian dan obat baru, jadi uang lagi, uang lagi. Apa benar?"
Om Bandung  : "Bisa jadi sih, Om juga tiap berobat dikasih ini itu terus-terusan. Tapi mau pindah dokter males, nanti disuruh dari awal lagi. Om sih optimis akan sembuh. Buktinya sekarang kamu lihat Om gimana?"
Rosi            : "Kelihatannya sih sehat Om. Nggak kurus, nggak botak. Dulu stadium 3, sekarang stadium berapa?"
Om Bandung    : "Stadium 4 ( bicara sambil tersenyum ). Optimis saja lah, kamu juga tenang, suami masih muda, ganteng gitu. Sehat...sehat..."
         Kami pun mengobrol tentang pekerjaannya sebagai distributor sembako. Ia juga bercerita tentang keluarganya. Tak lama kemudian beliau pamitan hendak konsultasi dengan dokter X karena hasil PET Scan  sudah keluar.
            Saya bertekad akan mencontoh Om Bandung ini. Dia begitu optimis walaupun sudah stadium 4. Sifat saya memang agak kurang bagus dalam soal keyakinan. Sedari kecil kalau ada orang yang memotivasi, memberi kata-kata yang positif maka saya akan optimis dan termotivasi. Terlalu menggebu-gebu malahan. Sebaliknya kalau mood saya sedang kurang bagus, mendengar kata-kata yang negatif akan menimbulkan rasa pesimis dan malas.
           Hal ini sering menjadi batu sandungan sewaktu  masih sekolah. Dulu orangtua saya sering menegur saya karena hal ini.
Jika lagi semangat belajar, maka saya akan belajar dengan rajin. Kalau lagi kumat malasnya, ada ulangan pun tidak mau belajar. Itulah sebabnya hingga kelas 2 SMP,  nilai saya benar-benar standard. Rata-rata. Baru saat menginjak kelas tiga SMP sampai lulus SMA, karena ingin membuktikan diri saya sendiri, saya pun sungguh-sungguh belajar. Dan kerja keras saya tidak sia-sia. Saya selalu meraih ranking 10 besar.
            Setelah Om Bandung pergi, saya hanya diam termangu. Seperti biasa, Bertrand sibuk dengan gadget-nya. Diam-diam saya melirik kanan kiri, mencari teman ngobrol. Namun, apa daya, kursi di samping saya kosong. Saya pun memutuskan untuk memeriksa blackberry.
            Selagi bbm-an dengan Lucia, nenek berkerudung yang duduk di ujung bangku tiba-tiba berdiri menggendong anak batita itu dan pindah ke sebelah kanan saya. Posisi tempat duduk saya memang tepat berada di depan pintu Radiology Center dan juga dekat dengan pintu keluar.
       Nenek itu tampak sedang menunggu seseorang. Saya jadi bertanya-tanya, siapa gerangan yang beliau tunggu. Seseorang dalam Radiology Center atau sedang menunggu dijemput?
            Apa pun jawabannya, saya senang mendapatkan teman yang bisa diajak ngobrol.
Rosi       : "Dari Indonesia ya, Bu?" ( Pertanyaan awal standar di negara orang )
Nenek   : "Iya Mbak, dari Jakarta."
Rosi       : "Siapa yang sakit, Bu?"
Nenek   : "Ini yang sakit cucu saya."
Rosi       : "Lho cucunya sakit, Bu? Cucunya umur berapa?"
Nenek  : "Cucu saya ini baru tiga tahun, namanya Aisah. Ada benjolan Mbak, di perutnya. Segede buah mangga."
Rosi       : "Hah??" ( Hanya bisa diam terhenyak )
Nenek   : "Dari bayi, di perut Aisah sudah teraba seperti ada benjolan. Uminya suka tanya ke dokter kalau Aisah pas di vaksin. Dokternya bilang ini tulang lunak, nanti lama-lama juga nggak akan kelihatan seperti benjolan. Tapi lama-lama malah semakin besar. Akhirnya minggu lalu dokternya bilang ini nggak benar, disuruh CT Scan. Hasilnya ada benjolan 10x13x11 cm. Sebesar buah mangga, Mbak." ( Nenek ini bercerita sambil berkaca-kaca )
            Mendengar cerita diatas, hati siapa yang tidak bersentuh? Tak terasa mata saya pun berkaca-kaca.
Rosi     : "Sabar ya, Nek, Aisah pasti sembuh. Emang di Jakarta pake dokter siapa, koq bisa sampai kayak gini?" (Melihat pakaian nenek yang sangat sederhana, saya berpikir mungkin Aisah divaksin di dokter umum. Bukan di dokter spesialis anak.)
Nenek  : "Aisah ini dari lahir sampai sekarang selalu di rumah sakit…  " ( Beliau menyebutkan salah satu rumah sakit khusus ibu dan anak terkenal dan bonafit di Jakarta. Sori, nggak berani mencantumkan nama karena takut terkena kasus seperti Prita. Ini juga satu pelajaran untuk saya "don't judge the book by its cover". Jangan menilai orang dari penampilan.)
Nenek  : "Tadi Aisah baru konsul dengan dokter Anselm. Apa pun hasil PET Scan, besok harus di operasi. Bantu doa ya, Mbak, supaya Aisah sembuh."
Rosi      : "Iya Nek, saya pasti doain Aisah, Nenek juga bantu doain suami saya ya." ( Saya pun menceritakan singkat kondisi Bertrand ).
       Ketika kami bercakap-cakap, munculah seorang ibu muda. Aisah pun meronta dari neneknya ingin digendong ibu tersebut. Ini Uminya Aisah, Nenek memperkenalkan kami. Tak lama pun ayahnya Aisah muncul ditemani seorang wanita berwajah sangat oriental.
          "Perempuan itu siapa, Bu? " tanya saya penasaran. 
          "Oh, itu dokter perusahaan tempat ayah Aisah kerja. Ayah Aisah kerja di pertambangan. Kami bersyukur dapat fasilitas di dampingi dokter dari Jakarta. Jadi kalau ada yang tidak kami mengerti, bisa kami konsultasikan dengan dia," jawab Nenek.
       Rombongan mereka berpamitan hendak balik ke hotel Hyatt untuk istirahat. Saya dan Nenek berpegangan tangan saling menguatkan dan berharap besok bisa bertemu lagi pada saat mengambil hasil PET Scan.
       Tak lama sejak nenek pergi, Bertrand dipanggil masuk ke dalam Radiologi Centre. Di ruangan ini ada tiga buah sofa yang diatur membentuk huruf U. Sudah ada beberapa orang yang duduk disana. Ada  satu keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak. Ada seorang wanita berusia paruh baya dan seorang pria berumur mendekati tujuh puluh tahunan. Ternyata mereka semua berasal dari Indonesia. Saya pun duduk diantara mereka selama Bertrand melakukan pemeriksaan PET Scan.
            Saya pun bercakap-cakap dengan sang istri ( sebut saja Cici).
Cici                : "Lagi menunggu siapa? "
Rosi               : "Menunggu suami, Ci. Cici lagi nunggu siapa?"
Cici                 : "Saya habis PET Scan tadi. Sekarang duduk dulu di sini, istirahat."
Rosi                : "Cici sakit apa?"
Cici                  : "Beberapa tahun yang lalu sempat terkena kanker payudara tapi sudah bersih. Kemarin sewaktu check up rutin ternyata ada benjolan lagi ukuran dua millimeter. Masih kecil sih, bukan kanker juga, tapi mau saya buang saja. Saya takut kena kanker lagi,jadi mendingan jaga-jaga."
Cici                  : "Ok deh, saya duluan ya. Semoga suami kamu nggak ada apa-apa."
Rosi                 : " ya Ci, makasih. Sampai ketemu lagi.".
            Ternyata selama kami mengobrol, wanita paruh baya dan pria yang sudah berumur itu ikut mendengarkan. Wanita paruh baya ini ( Siska ) tengah menunggu suaminya. Sedangkan pria berumur ( Koh ) sedang menunggu istrinya. Kami pun terlibat obrolan panjang sambil menunggu pasangan kami PET Scan.
Siska              : "Bener tuh si Cici. Walau pun kecil cuma dua milimeter, mendingan langsung dibuang daripada kenapa-kenapa."
Koh                  : "Susah kalau sudah kena kanker. Pusing! Istri Engkoh udah tujuh tahun kena kanker sampai udah berobat kemana-mana. Ini terakhir dah, nyerah aja."
Rosi                    : "Emang kanker apa ?"
Siska                : "Kalau suami saya kanker paru stadium tiga. Tahun lalu sudah sembuh, tapi sekarang dadanya agak sesak, jadi kontrol lagi."
            Mendengar suami Siska terkena kanker paru, saya pun langsung memberondongnya dengan berbagai pertanyaan terutama gejala-gejala sebelum diketahui terkena kanker paru.
Siska               : "Awalnya sih batuk nggak berhenti-berhenti. Dari dokter umum, internis sampai THT sudah dicoba tapi tetap aja nggak sembuh. Sudah saya bawa dia ke dokter yang paling beken di Surabaya. Dokter ini terkenal bisa mengobati batuk yang sudah lama. Tetap aja nggak sembuh."
Siska                : "Kalau malam batuknya bisa terus-terusan sampe subuh. Kasian, jadi nggak bisa tidur. Lama-lama napasnya jadi sesak. Pas di CT Scan ternyata ada benjolan.  Ya sudah kami coba berobat ke Singapore."
Rosi                    : "Di Singapore pake dokter siapa?"
Siska            :  "Dr. Agasthian.  Ko Herdi di operasi lalu mengambil paket kemoterapi. Sekarang cek lagi dengan PET Scan untuk lihat sudah bersih atau belum."
Rosi                 : "Aduh Ci Siska, saya jadi takut. Suami saya juga ada benjolan di paru kiri, paru kanan juga ada tapi kecil."
Siska            : "Berdoa aja. Pasrah sama Tuhan. Saya dulu bisa berminggu-minggu di Singapore berobat sama kemoterapi. Pulang dari rumah sakit, kita hepi-hepi aja. Cari makanan yang enak, kami pegangan tangan sambil nyanyi, nari, nikmatin hidup aja."
Rosi                    : "Maunya juga gitu, Ci. Tapi tetap aja khawatir, mana anak masih kecil-kecil. Stres beneran ini.  Berat badan udah turun banyak kayaknya. Padahal belum ada seminggu."
Siska                : "Iya, saya ngerti. Nanti pulang Jakarta cobain aja minum rebusan daun sirsak. Suami saya juga rajin minum. Sembuh, kan? Asal kita yakin, percaya pasti ada jalan. Nanti saya kasih tau resepnya."
Koh                  : "Banyak sih emang yang coba pake daun sirsak. Istri saya daun sirsak, sarang semut, apa juga udah dijalanin. Pokoknya ini terakhir. Saya sudah ke Malaysia, ke China tapi koq nggak ada perubahan?"
Rosi                 : "Kanker apaan Koh?"
Koh                 : "Awalnya kanker kaki, susah jalan. Sekarang udah nyebar kemana-mana. Tiap malam saya harus pijitin. Kasian dia kesakitan terus.” ( Berbicara sambil menggeleng-gelengkan kepalanya )
Siska                : "Udah coba pake jaket anti kanker belum yang di Raya Serpong?"
Koh                 : "Dr. Warsito, kan? Sudah, sudah punya. Tapi istri saya nggak mau pake. Panas katanya, nggak betah."
Siska                : "Banyak yang berhasil lho padahal."
Koh             : "Iya, cocok-cocokan lah. Saya sudah bawa istri saya dari dokter, pastur, pendeta, haji, pemimpin Budha, dukun. Semua udah dijabanin."
Siska              : "Lho, Engkoh agamanya apa ? Agamanya apa itu yang diimani. Jangan semua dicoba. Kalau ke gereja ya minta doa sama pastur atau pendeta. Kalau Islam ke Kyai, kalau Budha bisa minta tolong ke Bikhu."
Koh              : "Di KTP sih Budha, tapi sebenarnya saya nggak punya agama. Tapi saya percaya ada yang lebih besar dari kita di atas."
Rosi               : "Yaaah Koh, kalau semua dijalanin gimana bisa fokus. Coba yang satu belum tuntas, udah ke tempat lain. Satu aja Koh yang dipercayai, itu yang dipegang."
Koh                  : "Jangankan ke orang agama, ke dukun juga saya udah lho. Ada yang kasih tahu saya bahwa ada dukun jago di Bali, saya bawa istri ke sana."
Siska                : "Hah? Terus diapain sama dukun itu?"
Koh                  : "Dukun itu susah ditemuin, kata juru kuncinya saya harus ketemu dia tengah malam di kuburan."
Rosi & Siska    : "Haaaahhh ??"
Koh                  : "Dukun itu angkat tangan juga. Katanya istri saya sudah parah. Satu-satunya yang bisa ngobatin itu raja neraka."
Rosi                 : "Koh, jangan diikutin yang kayak gitu. Mana ada orang berobat ke dukun harus tengah malam pula, terus pake harus ke raja neraka. Dosa Koh, kita kan punya Tuhan, kita minta sama Tuhan. Yang nyiptain kita kan Tuhan, Koh."
Koh                  : "Abis saya udah angkat tangan, udah tujuh tahun gini terus. Pokoknya ini terakhir deh "
Siska                : "Astaga Koh, bener kita mau pasangan kita sembuh. Masa harus gini caranya. Dosa besar namanya. Kita mengingkari Tuhan kita. Mulai sekarang berobat yang benar saja, pegang satu dokter terus berdoa yang rajin sama Tuhan/."
Koh                  : " Iya, iya."
            Saya sebal setengah mati mendengar perkataan si Koh itu. Di saat-saat seperti ini, saya butuh ucapan dan cerita-cerita yang menguatkan seperti Om Bandung yang optimis dan Ci Siska yang tegar selama mendampingi suaminya. Saya tidak mau mendengar hal-hal yang negatif. Maka dari itu saya mengalihkan pembicaraan dengan bercakap-cakap dengan Siska.
Rosi                 : " Ci Siska aktif di gereja, ya?"
Siska             : " Iya, saya ikut persekutuan doa Rosario di lingkungan. Gereja saya sih di St. Yakobus - Kelapa Gading."
Rosi                : "Wah, bagus Ci. Saya di gereja nggak ikut apa-apa, cuma misa doang. Btw, kalau di Singapore gerejanya di mana, ya? Apa ada kapel deket rumah sakit ini?"
Siska               : "Di rumah sakit  ini  sih setau saya nggak ada gereja. Biasanya saya ke gereja Novena."
Rosi                 : "Daerah mana ? Dekat dari sini?"
Siska                : "Dekat koq, naek MRT cuma dua perberhentian.”
            Setelah sekian lama menunggu, keluarlah Herdi, suami Siska dan juga Bertrand. Ternyata dalam ruangan Radiology pun Herdi dan Bertrand sudah bercakap-cakap. Kami pun mengobrol seru. Dia bersaksi soal kesembuhannya dengan cara minum rebusan daun sirsak dan berdoa dengan tekun.
            Saat kami bercerita, Papa dan Mama pun datang dan ikut mendengarkan kesaksian Herdi. Bertrand dan Herdi saling tukeran nomer ponsel dan pin BB. Kami pun berpisah dan berjanji akan saling keep in touch.
            Pertemuan kami dengan pasangan Herdi-Siska membuat saya optimis bahwa dengan ramuan alamiah pun kanker bisa diobati. Saya memang sering mendengar bahwa daun sirsak berkhasiat lebih ampuh daripada kemoterapi. Sekarang saya benar-benar mendengar langsung khasiatnya dari kesaksian Herdi.
            Makan siang telah selesai. Kami pun memutuskan pergi ke Garden by the Bay yang dibuka pada bulan Juni 2012.  Taman seluas 101 hektar ini terdiri dari berbagai tanaman dan bunga dari seluruh dunia. Tumbuhan tropis dari pegunungan sampai tumbuhan padang pasir, semua disuguhkan di sini. Kami mulai dengan mengunjungi outdoor garden yang free of charge.
            Kami memutuskan untuk naik outdoor garden audio tour menuju conservatories karena hari sudah menjelang petang. Ada dua conservatories yaitu Flower Dome dan Cloud Forest. Sayang sekali kami tidak dapat masuk ke Flower Dome karena sedang ada renovasi.
           Udara Cloud Forest dingin berkabut. Dengan tubuh dan jiwa yang letih, saya jadi merasa galau tingkat maksimum. Berada di dalam conservatory membuat saya merasa tak nyaman dan terkukung. Ingin rasanya cepat-cepat selesai mengitari conservatory dan keluar. Semua itu masih ditambah dengan suara batuk-batuk Bertrand. Cepat-cepat  saya tawari syal panjang milik saya untuk menutupi bagian lehernya supaya tidak kedinginan, namun dia menolak.
            Entah kenapa semua tanaman di Cloud Forest terlihat suram. Semua hampir berwarna putih, abu, coklat dan hitam. Semua jelek dimata saya. Tidak ada warna-warna ceria  yang bisa membuat mood saya berubah. Saya sempat berpikir juga sih, ini tanaman apa ya? Semua berwarna suram sesuai namanya, Cloud Forest yang cool dan misty. Apa perasaan saya saja yang sedang galau? Gimana caranya keluar dari tempat ini cepetan? Kabur gak mungkin...Papa, Mama sama Bertrand gimana dong? Lagian kalau bisa kabur juga, mau kemana ? Wong pergi bareng-bareng.
        Sebaliknya mertua saya yang pencinta tanaman sangat senang di sana. Mama berencana akan membawa anak-anak berlibur ke Singapore dan Legoland - Johor pada saat libur kenaikan kelas. Mendengar hal ini, hati saya rasanya nyesss.
            Liburan kenaikan ke sini dengan anak-anak?
          Tuhan, semoga pada saat itu Bertrand telah sembuh total. Saya ingin kami sekeluarga bisa berlibur dengan penuh keceriaan. Jangan sampai disaat liburan nanti, kami harus terpotong dengan segala sesi pengobatan apalagi sampai harus ada kemoterapi. Lindungi keluarga kecil ini ya, Tuhan, doa saya dalam hati.
          Akhirnya acara mengelilingi Cloud Forest pun selesai dan kami kembali ke arah Orchad Road untuk bersantap malam dan berjalan-jalan. Hari ini saya memutuskan untuk tidur dengan cepat karena saya merasa sangat letih. Namun rencana tinggal rencana, mata saya tetap terbuka sampai entah jam berapa. Obat tidur berbahan alami benar-benar tidak manjur bagi saya.

                                                      Garden by the Bay. Taken by Bertrand
                                       


Tidak ada komentar:

Posting Komentar