Rabu, 02 April 2014

Hari 6 : 2 April 2013

Hari 6 : 2 April 2013     
             
         Dini hari sekitar pukul setengah empat, sebuah mobil Fortuner sudah nangkring di depan rumah. Papa dan Mama diantar Currie telah tiba untuk mengantar kami ke bandara.
         Saya dan Bertrand memasukkan barang-barang ke bagasi sementara Mami mengobrol dengan Mama. Mama duduk di kursi tengah paling pinggir kiri sedangkan Mami berdiri di pintu yang terbuka. Saat saya masuk ke dalam mobil melalui pintu satunya, saya sempat melihat Mama dan Mami saling berangkulan dan berpegangan tangan. Mata mereka berkaca-kaca.
        Saya sedih sekali melihatnya. Jangankan Mama yang mengetahui ada benjolan sebesar itu di paru-paru Bertrand, saya saja, pada saat anak-anak demam sudah cemas banget. Saat itu saya seperti disentil. Hayo, Rosi, dari kemarin kamu panik, takut, dan gelisah. Merasa diri yang paling malang. Apa kamu nggak mikirin perasaan Mama? Mama sedih, bahkan mungkin lebih sedih daripada saya. Bagaimanapun juga, seorang ibulah yang mengandung selama sembilan bulan lamanya, melahirkan, dan merawat anak-anaknya hingga dewasa.
        Penerbangan Garuda menuju Singapore akan boarding pada pukul enam lewat dua puluh menit. Setelah urusan imigrasi beres, kami menunggu di lounge. Di lounge kami mengobrol, saya memeriksa Facebook, dan Instagram, serta menghubungi rumah untuk memastikan anak-anak sudah bangun dan siap-siap sekolah.
         Hidangan di lounge tidak begitu banyak karena hari masih sangat dini. Papa, Mama dan Bertrand sarapan nasi uduk kalau saya tidak salah ingat. Sedangkan saya sama sekali tidak ingin makan, selain karena hilang selera makan, juga tidak biasa makan terlalu pagi. Maka dari itu saya putuskan untuk sarapan hidangan di pesawat saja.
           
Singapore

            Setibanya di Singapore, kami segera menuju hotel Elizabeth dengan taxi. Dikarenakan hari masih pagi, kami belum diperbolehkan untuk check in. Karenanya kami hanya menitipkan koper dan berjalan kaki ke arah rumah sakit. Di depan rumah sakit, Papa dan Mama berpisah dengan kami. Mereka ada urusan sebentar di HSBC Bank dan akan segera menyusul kami di rumah sakit.
            Mount Elizabeth Hospital tampak hiruk pikuk seperti biasa. Keadaannya sama seperti saat terakhir kali saya mengunjungi rumah sakit ini untuk menemani kerabat check-up pada tahun 2009. Hati saya terasa hampa saat menaiki lift menuju lantai empat belas. Prof Dr. Philip Eng praktek di  ruang #14-14.
            Suasana di ruang #14-14 seperti klinik. Ada ruang tunggu yang berisi meja resepsionis, sofa-sofa, meja yang di atasnya terletak majalah-majalah, timbangan badan, dan lain-lain. Setelah mengkonfirmasi kedatangan kami dengan resepsionis, mengisi form, mengukur berat badan, dan suhu tubuh Bertrand, kami pun disuruh menunggu.
           Ada sepasang pria dan wanita duduk di sofa. Dari raut muka dan cara pakaiannya, saya bisa menebak  kalau wanita itu berasal dari India. Saya pun memberanikan diri untuk mengajak pria itu (sebut saja pria A ) bercakap-cakap ( dalam bahasa Inggris tentunya ) :
Rosi     :  "Halo, asalnya dari mana?"
Pria A   :  "Oh hai....kami dari Brunei. Kalau kamu?"
Rosi     :  "Kami dari Jakarta, Indonesia. Siapa yang sakit?"
Pria A   :  "Kami mengantar Paman. Paman sedang ada dalam ruangan dokter. "
Rosi     :  "Pamannya sakit apa ? Sudah pernah kesini sebelumnya?"
Pria A   :  "Paman kami batuk-batuk terus dan ada riak di dadanya. Mungkin ada alergi. Sudah sering ke dokter tetapi tidak sembuh-sembuh. Kami dengar dokter ini hebat, jadi kami ke Singapore. Belum pernah ke dokter ini sebelumnya. Ini siapa yang sakit ? "
Rosi    :   "Suami saya di ronsen ada benjolan di paru-paru. Kami juga belum pernah kesini sebelumnya."
           
Tak lama kemudian paman pria A keluar dari ruang dokter beserta istrinya. Pria A dan pasangannya pun berpamitan pada kami. Kami saling berjabat tangan dan saling mendoakan semoga semua sehat.
--------
            Ruangan dokter yang dingin membuat tangan saya yang memang sudah dingin menjadi semakin dingin. Akhirnya kami berhadap-hadapan dengan profesor yang beken ini. Profesor Phillip memiliki wajah  oriental, usianya menjelang enam puluh tahun, berkaca mata dan mukanya terlihat pintar sekali.
       Dia menanyakan dengan detail semua riwayat kesehatan dan pola hidup Bertrand, memeriksa dengan seksama menggunakan stetoskop badan terutama di bagian dada dan punggung, memeriksa kuku jari dan berbagai hal lainnya dengan teliti. Setelah memeriksa fisik Bertrand, beliau pun menaruh hasil CT Scan paru diatas layar yang diterangi lampu.
          Beliau meneliti hasil CT Scan dengan mata terbuka lebar, diam dengan dahi berkerut dan membuat saya semakin gelisah. Saya ingin sekali mendengar beliau berkata, "Oh, ini tidak apa-apa. Hanya benjolan biasa, minum obat saja teratur dan check up lagi setelah obat habis." Namun sia-sia saya menunggu, tidak ada satu ucapan pun keluar dari mulut profesor. Rasanya saya sudah menunggu lama sekali, padahal kalau dipikir-pikir lagi, professor hanya melihat kira-kira satu hingga dua menit.
            Akhirnya professor berkata:
Prof      : "Hasil CT Scan ada benjolan. Benjolannya apa, saya tidak tahu. Harus ada pemeriksaan lebih lanjut.”
Bertrand   : "Kira-kira apa? Mungkin nggak TBC?"
Rosi         : "Atau bisa nggak itu jamur, Prof?” ( Karena teman mertua saya ada yang terkena benjolan paru dan setelah diperiksa merupakan jamur )
Prof          : "Apa pun bisa, tapi untuk pastinya harus diperiksa. Semua ada langkahnya, step by step. Kapan kamu pulang ke Jakarta?"
Bertrand  : "Sabtu siang. "
Prof          : "Ok, besok kamu biopsi. Lusa Pet Scan. Jumat MRI otak. Sabtu hasil sudah keluar, jadi kita bisa tahu langkah berikutnya apa."
Rosi         : "Wah, lama juga ya Prof. Saya jadi nervous."
Prof       : "Hasil Biopsi baru bisa kelihatan 2-3 hari. Saya heran dengan orang Indonesia. Selalu tidak sabaran. Semua maunya instan. Disini tidak bisa begitu, semua ada langkah-langkahnya. Kalau terburu-buru, tidak akan berhasil. Nanti coba ini, coba itu, malah gagal and die."
Rosi        : (tertunduk malu ) "Maaf Prof, abis saya takut. Nggak ada maksud begitu."
Prof         : (tersenyum )"Saya mengerti. Kamu dampingi Bertrand ya, don't worry too much."
Rosi        : "Maaf Prof, tanya lagi. Kalau seandainya Bertrand terkena kanker, stadium berapa ya ?"
Prof           : "Stadium 3B. Tapi kalau dari hasil MRI ternyata otak kena artinya stadium IV. "
Bertrand dan saya pun diam terhenyak.

            Setelah konsultasi, Bertrand diharuskan tes napas, cek darah, dan vaksin influenza. Semua dilakukan di klinik ruang #14-14. Baru saja Bertrand selesai dengan segala hal diatas, Papa dan Mama datang.
          "Rasa-rasanya ini dokter Mama waktu dulu batuk. Ruangannya sama, " kata Mama seraya memandang sekeliling ruangan tunggu.
              "Philip Eng, Mam?" tanyaku.
              "Embuh (nggak tau), Mama lupa," jawab Mama
             "Prof, mertuaku ini rasanya pernah kesini apa benar?" tanya saya pada Profesor yang memang sedang melihat hasil napas Bertrand.
            "Siapa namamu, Mam? " tanya Profesor pada Mama. Profesor pun membuka catatan daftar pasien di komputer ketika Mama sudah menyebutkan namanya.
          "Ah, Mam pernah sakit batuk lama.Bagaimana sekarang, sehat?"  Sambil tersenyum lebar Profesor bertanya.
"Sehat, sehat," jawab Mama sambil tertawa-tawa.
           ( Mertuaku ini pasangan yang sangat serasi di mataku. Papa orangnya pendiam, serius, pintar sekali terutama dalam bidang tekhnik dan tegas. Beberapa orang yang hanya kenal selintas mungkin menilai beliau galak tapi hampir semua orang di kalangan keluarga dan lingkungan kantor mengetahui bahwa sebenarnya Papa adalah orang yang sangat baik dan perhatian pada orang lain. Sedangkan Mama sifatnya selalu ceria, easy going, selalu positif thinking dan jiwa mendermanya besar sekali. Mereka saling melengkapi satu dan lainnya walau dengan berbagai sifat yang berbeda.)
            Matahari begitu terik ketika kami keluar dari rumah sakit, waktu sudah menunjukkan jam makan siang. Kami memutuskan untuk makan siang di Din Tai Fung - Paragon Mall yang terletak di seberang rumah sakit. Sehabis makan, kami memutuskan untuk check in dan beristirahat di hotel.
          Merebahkan tubuh sejenak membuat saya merasa mengantuk. Rasanya capai sekali. Sambil leyeh-leyeh, saya buka blackberry yang sejak landing di Singapore tidak sempat saya sentuh. Wow, banyak sekali notifikasi yang masuk. Keluarga, teman dekat, teman di sekolahan anak, teman kantor, dan teman lainnya pada menanyakan keadaan Bertrand.
       Kabar mengenai benjolan di paru Bertrand ternyata sudah menyebar. Banyak yang mengirim BBM memberi simpati, memberi dukungan doa, ada yang memberi sederet nama dokter ahli kanker, dan ada juga yang usil "just want to know " karena mendapat gosip Bertrand terkena kanker.             
           Entah dari siapa gosip itu beredar. Yang pasti gosip itu melemahkan kami. Bertrand dan saya sampai kesal sekali, karena walaupun kami takut, kami berusaha mengimani bahwa semua baik-baik saja. Toh proses pemeriksaan pun baru akan dilaksanakan besok, mengapa orang bikin gosip seolah-olah sudah terkena kanker?
        Pada keluarga dan teman dekat, saya ceritakan bahwa kami baru saja menemui Profesor dan masih harus melakukan beberapa pemeriksaan. Kami juga minta dukungan dalam doa. Sedangkan pada yang lainnya, saya cukup melakukan end chat.
          Setelah semua urusan itu selesai, saya benar-benar letih dan ingin segera tidur.  Namun, baru saja mata terpejam sebentar, BB sudah kembali berbunyi. Waduh, ternyata saya lupa meng-silent-kannya. Ternyata yang mengirim pesan BBM adalah Anyi, sepupu Bertrand yang tinggal di Bandung. Saya pun menjelaskan bahwa kami baru ketemu professor dan besok Bertrand harus melakukan biopsi, lusa PET Scan, dan Jumat MRI otak.
            Anyi sangat kaget mendengarnya. Dia menyarankan untuk besok PET Scan, lusa baru biopsi. Menurut Anyi, kalalu dari hasil PET Scan tidak ada indikasi kanker, buat apa dilakukan biopsi? Saya memahami kekhawatiran Anyi karena banyak anggapan bahwa biopsi dapat menyebabkan sel kanker menyebar.
            Saran Anyi segera kusampaikan pada Papa dan Mama. Kami semua menyetujuinya. Kalau hasil PET Scan bagus, buat apa biopsi? Bener juga. Bertrand segera menelepon klinik Profesor untuk merubah jadwal dan Ms Felicia (admin klinik) meminta kami segera balik ke rumah sakit.
            Kami segera kembali ke rumah sakit. Ms. Felice mengatakan dia harus menelepon Parkway bagian PET Scan dan biopsi untuk perubahan jadwal ini. Ms. Felice khawatir kalau jadwal tidak bisa dirubah karena sudah padat.
           Puji Tuhan ternyata pertukaran jadwal masih bisa dilakukan. Ms. Felice pun memberikan form-form baru dan menjelaskan bahwa PET Scan dijadwalkan besok pukul sepuluh pagi. Kami diminta untuk tiba di bagian Radiology lantai satu pada pukul sembilan. Bertrand pun diwajibkan untuk puasa total selain air putih selama enam jam sebelum PET Scan.
          Saat mendengarkan Ms. Felice memberikan keterangan, Profesor keluar dari ruang prakteknya. Beliau menanyakan mengapa ganti jadwal. Bertrand pun menjawab bahwa dia mendengar rumor bahwa biopsi bisa menyebabkan sel kanker menyebar.  Profesor pun tertawa dan menjelaskan bahwa hal itu tidak benar. Profesor balik bertanya pada kami, bagaimana bisa hanya dengan mengambil cairan di bagian tubuh yang diduga terkena kanker dengan menggunakan jarum kecil bisa menyebabkan sel kanker menyebar?
            "Kalau jadwalnya sudah dirubah, it's ok, lakukan saja. Jadi besok PET Scan. Lusa saya lihat hasil PET Scan-nya dan biopsi kalau perlu. Bila biopsi dilakukan lusa, saya tidak janji hari Sabtu hasil akan keluar. Hasil biopsi baru bisa dilihat hari Senin. Bagaimana? " tutur Profesor.
            "Nggak apa Prof, besok saya PET Scan dulu saja, " jawab Bertrand
            Yah, hasilnya Senin baru keluar, batin saya. Artinya saya deg-degan hingga hari Senin. Ya Tuhan Yesusku yang baik, ya Bunda Maria, bantu saya agar sabar dan kuat.

Keterangan gambar:
Prof. Dr. Philip Eng dengan Bertrand.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar