Selasa, 08 April 2014

Hari 12 : 8 April 2013

Hari 12 : 8 April 2013

         Pesawat Garuda landing dengan mulus di Changi Airport. Udara masih terasa dingin ketika kami masuk taxi menuju Mount Elizabeth Hospital. Sepanjang perjalanan kami banyak diam. Entah apa yang tengah berkecamuk dalam benak Papa, Mama dan Bertrand selain kekhawatiran. Saya sendiri sudah pasrah, biarlah semua Tuhan yang atur.
           "Ya Tuhan, kalau boleh saya minta, jangan sampai Bertrand kanker. Saya percaya, imani dan yakin Tuhan telah mengurapi Bertrand. Jangan ada sesi kemoterapi, jangan biarkan kami berlama-lama berobat di Singapore ya, Tuhan. Kasihanilah kami, kasihanilah anak-anak saya. Mereka masih kecil, belum bisa saya tinggal kalau saya harus dampingi Bertrand. Kalau boleh, minum obat saja ya Tuhan. Selama ini tidak ada satu doa pun yang tak Kaujawab dan tak Kau kabulkan, dan saya percaya doa saya ini akan Kau kabulkan. Terima kasih Tuhan," pinta saya dalam hati.
            Sesampai di klinik Prof, seperti biasa kami dipersilakan menunggu. Dalam ruangan profesor sudah ada pasien sedang konsultasi. Perasaan saya saat itu sudah benar-benar hambar. Tidak ada rasa takut dan khawatir. Saya seperti tengah berdiri diam di lorong panjang yang tak kelihatan ujungnya. Mau melangkah namun nggak tau ada apa  yang menyongsong di depan sana. Nggak melangkah pun, ya sudahlah.
            Selama menunggu akhirnya saya putuskan untuk membaca Doa Mujizat dan Salam Maria, berulang-ulang. Tiba-tiba BB saya berbunyi. Ternyata Aming yang menanyakan keadaan Bertrand. Saya pun menjawab singkat bahwa belum ketahuan hasilnya karena masih menunggu dipanggil Prof. Saya juga bilang bahwa saya sudah pasrah sekarang, tidak tahu harus bagaimana lagi.
             Aming membalas dengan ayat Maz 23. Segera saya buka aplikasi Alkitab di Tab dan Maz 23 berbunyi:
            "TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau. Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya."
            Baru saja selesai membaca Mazmur, suara Ms. Felice terdengar memanggil Bertrand. Tergopoh - gopoh kami berempat menyerbu masuk ruangan.
            Profesor menatap kami dengan muka yang sangat serius dari balik mejanya. Dia pun berdiri dan mengambil kursi kemudian meletakkannya di samping meja dan menunjuk Bertrand sambil berkata, "You, sit here."
            "And you, Mam...sit here.” Ia menyuruh saya duduk di kursi tepat di depan mejanya.
            Jantung saya rasanya jatuh ke perut. Waduh, kenapa Prof mukanya nggak ada senyum. Serius benar. Jangan-jangan hasilnya gawat. Keringat dingin langsung mengucur membasahi punggung saya. Saya mencoba melempar senyum pada Prof, dia melihat saya tapi tidak membalas senyum saya. Jiaaah...lemaslah rasanya kaki saya. Saking gugupnya, tak sadar saya peluk erat-erat tas di pangkuan saya.
            Prof lalu berteriak menyuruh asistennya mengambil kursi untuk Papa dan Mama. Papa di samping saya dan Mama duduk di belakang antara Papa dan saya. Setelah kami duduk tenang di posisi masing-masing, Prof mulai berbicara:
Prof                  : "Mr. Bertrand, bagaimana keadaannya sekarang?"
Bertrand         : "Baik-baik aja Prof. Apa hasil biopsi sudah keluar?"
Prof               : "Sudah, sudah. Kalau waktu itu biopsi hari Rabu, dari hari Sabtu juga hasil sudah keluar. Karena ganti jadwal, hasil baru saya dapat pagi ini."
Rosi                 : (Buruan nape sih? Orang udah penasaran juga. Pake bahas-bahas jadwal yang sudah lewat segala.)
Prof                  : "Oke, sekarang kita bahas mengenai hasil biopsi ya. Hasil biopsi ini sudah paling akurat untuk melihat benjolan itu apa.  Kalau  dari ronsen, test darah atau PET Scan bisa salah."
Rosi                 : (Buu...ruu..aaaannn !!!. Saya lihat Bertrand, Papa, dan Mama mukanya tegang semua.)
Prof                  : "It's not cancer."
Rosi                 : "Hah? Apa ? Bukan kanker? Dok...beneran bukan?"
            Saat itu, dada saya terasa lega sekali. Batu besar terangkat. Saya cium pipi Papa dan Mama. Saya sudah tak peduli Bertrand sakit apa, pokoknya apa pun asal bukan kanker. O iya, dokter belum jelasin sakitnya apa. Jadi Bertrand sakit apa ya?
Bertrand           : "Jadi saya sakit apa?"
Prof                  : "It's miracle. Kamu harus terima kasih sama Tuhan. Benjolan ini bekas TBC. Jadi kamu dahulu pernah terkena TBC tetapi karena antibodi badan kamu kuat, kuman-kuman TBC itu dilingkupi oleh antibodi. Nah itu yang terlihat benjolan. Dari hasil biopsi semua bisa dibaca, bukan kanker, bukan jamur, just BEKAS TBC. Bisa jadi terkenanya beberapa bulan lalu atau tahun lalu karena benjolannya sudah besar."
Bertrand           : "Koq saya bisa terkena TBC. Saya kan nggak ngerokok."
Prof             : "Kuman TBC ada dimana-mana. Begitu tubuh lemah, dia bisa masuk. Pemerintah Singapore sangat konsen dengan TBC. Apabila ada yang terkena TBC, namanya dicatat dan dilaporkan kepada negara. Bila penderita TBC tidak datang pada jadwal kunjungan maka akan diberi surat panggilan. Bila surat panggilan diabaikan, maka pasien akan dijemput supaya datang berobat. Indonesia termasuk 3 negara penderita TBC terbanyak."
Prof                  : "Ok, untuk obat-obatan akan saya beri resepnya. Obat hanya diminum sekali sehari sebelum makan pagi. Obat diminum selama 6 bulan tanpa putus, hanya pengurangan dosis saja. Bulan depan Mr. Bertrand kembali ke sini, ronsen paru untuk melihat perkembangannya. Congratulation."
Bertrand           : "Terima kasih banyak, Prof." (sambil berjabat tangan )
Rosi               : "Terima kasih ya Prof. Terima kasih banyak. Saya lega sekali dengarnya. Dokter hari ini ganteng sekali. Sungguh, saya nggak bohong."
Prof                     : (tertawa terbahak-bahak ) "Ya...ya...Mam bisa tidur nyenyak ya sekarang."
            Penuh suka cita, kami pun keluar dari ruangan Prof. Sambil menunggu resep obat dibuat, saya tak henti-henti berdoa mengucapkan syukur. Tuhan begitu baik, doa saya dikabulkanNya. Hanya minum obat sekali sehari. Ketakutan kami harus menghadapi sesi-sesi kemoterapi hilang sudah.
            Mengingat keluarga yang pasti khawatir menunggu kabar, maka saya putuskan untuk menelepon Cing dan memberi kabar bahwa penyakit Bertrand hanya dikarenakan oleh bekas virus TBC.
            Kelegaan terdengar dari suaranya. Cing bertanya, "Artinya nggak usah nyusul ke Sing kan?" Saya heran mendengar hal itu. Rupanya Mama menyuruh Ko Alva, Cing dan Currie stand by, kalau-kalau sesuatu buruk terjadi, mereka siap berangkat ke Singapore.
            Saya broadcast semua orang di contact BB dengan tergesa-gesa, saya tulis :
"Terima kasih atas Tuhan Yesus dan terkabulnya 3 Novena Salam Maria. Benjolan di paru suami saya bukan kanker. Terima kasih pada seluruh kel. Wangsanegara, kel. Hadimuljo, kel. Susanta, kel. Ray White CBD S. Parman, ibu Natalia Pabisa, Sonya, kak Desy, Ladies group, Ooh Vera Hardja, Pastur Yoseph, Pastur Darman dan semua teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih."
            "Puji Tuhan, selamat atas kesembuhan Bertrand."
            "Alhamdulillah."                                                                                    
            "Wah...lega bener dengernya. Congrat ya."
            "Sebarkan hal ini pada banyak orang agar kemulian Tuhan nyata."
            "Horeeeee....buruan balik, jangan lupa makan-makan."
           "Lu sih keterlaluan Ros, nggak cerita-cerita ada kejadian gini. Dah nggak anggep temen baik apa?"
            "Haaah ? Emang Bertrand kenapa ? Koq gua nggak tau apa-apa? Minggu lalu masih ketemu kan?"
            Begitu bunyi pesan BBM dari saudara dan teman-teman. BB berbunyi terus menerus, mengucapkan pujian pada Tuhan dan selamat atas ketiadaannya kanker pada Bertrand.
          Kami keluar Mount Elizabeth dengan penuh suka cita. Pada saat menunggu lampu merah untuk menyeberang ke arah hotel York untuk check in,  saya menatap langit dan berseru:
      "Tuhan, selama ini saya bercita-cita pengin nulis buku. Sekarang saya tahu apa yang harus saya tulis. Saya akan bikin buku untuk apa yang terjadi selama 12 hari ini. Kalau sampai dari buku itu saya dapat uang, nanti akan saya sumbangkan ke yayasan  TBC atau kanker."
       Saat duduk di lobi hotel dengan perasaan sangat senang, tiba-tiba lagu OST Candy-Candy mengagetkan saya, Lucia menelepon.
Rosi                 : "Lussssssss....."
Lucia             : "Rooooossss.....hiks.....hiksss....huaaaaaa. Gua ditelepon Delen (suami Lucia). Katanya lu ada broadcast kalo Bertrand nggak apa-apa. Hiks..hiks...aduh....lega bener gua dengernya."
Rosi                 : "Iya Lus...gua lega bener. Lu di mana koq nggak baca broadcast gua."
Lucia               : "Gua lagi nyetir. Ini di depan rumah lu. Jadi nggak bisa baca BBM."
Rosi                 : "Hah ? Di depan rumah gua ? Ada apaan?"
Lucia            : "Gua inget kita terakhir ke pasar hari Senin lalu. Kulkas lu pasti kosong. Gua bawa daging, sayuran, buah ama telor buat anak lu."
Rosi            : "Huaaaa...Luciaaaa...lu temen gua paling baik deh. Thanks ya. Besok gua pulang, nanti gua ke rumah lu ya, Lus."
            Saat di lobi itu, saya menerima BBM hampir dari seluruh contact. Saya pun sibuk membalas dengan ucapan terima kasih dan menceritakan awal gejala yang dialami Bertrand.
            Ponsel saya berbunyi lagi dan tertera nomer Singapore. O ya, ini pasti Mr. Simon yang memang sudah berjanji akan mengajak kami makan siang.
            Mr. Simon - warga Singapore adalah teman Papa. Mr. Simon sempat menelepon Papa pada waktu hari Kamis. Beliau mendengar kabar tentang Bertrand sakit. Mr. Simon sempat mengomel juga pada saya karena tidak menceritakan keadaan Bertrand padanya. Beliau kaget dan takut kalau Bertrand ada apa-apa.
            " Rozzziiii....why you didn't call me? I am so shock and afraid, you know. Mr. Henry didn't   tell me anything. Alva who told me about this. If something happened, please give me all document about Bertrand. I will find the best doctor in this country," katanya pada hari Kamis.
              Mr. Simon mengajak kami makan malam waktu itu, tetapi karena kami menunggu kedatangan Sonya, tawaran makan malam terpaksa kami tolak. Kami pun berjanji akan menemuinya untuk makan malam pada hari Senin.
            Hari ini kami habiskan dengan penuh suka cita. Saya mendapatkan pengalaman yang sangat berharga selama 12 hari ini. Rasa takut, khawatir, sedih, beban berat hilang sudah. Saya belajar bahwa Tuhan pasti menjawab setiap doa umatNya, selama kita berserah, tersungkur di hadapan Tuhan, membuang segala kepahitan dan memaafkan sesama.


                                                                            Novena Chuch
                                            Kami mengikuti misa dan mengucapkan syukur atas mujizat dari Tuhan.
                                            Menangis di bawah salib Yesus dan patung Bunda Maria (9 April 2013)

   


                                                          
                                               


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar