12 HARI PERJALANAN IMAN
Prolog
Halo...
Nama saya Rosiana Susanta. Panggilan
sehari-hari Rosi, tapi keluarga dan teman-teman semasa kecil suka memanggil saya Oci. Itu
karena saat kanak-kanak, saya tidak bisa menyebut nama Rosi.
Saya adalah anak kedua dari
tiga orang bersaudara. Kami perempuan semua. Kakak saya bernama Prissilia, biasa saya panggil Ci
Picy. Dan adik saya bernama Melany, dipanggil Lany.
Sedari
kecil, kami bertiga dididik secara Katolik. Dari TK hingga SMA selalu bersekolah di
sekolah Katolik. Setiap hari Minggu harus ke Gereja, saat kelas tiga SD wajib ikut bimbingan
komuni pertama, kelas dua SMP ikut Sakramen Penguatan, dan sempat juga jadi organis
mengiringi misa di sekolah atau lingkungan. Kami bertiga juga sempat aktif di
kegiatan Antiokhia - Bandung, wadah anak-anak remaja Katollik berkumpul. Papi dan
Mami sempat menjadi aktivis di Gereja seperti Legio, Wanita Katolik, ME, bahkan
sekarang Papi menjadi prodiakon.
Dengan
didikan seperti itu, apakah saya anak yang baik ? Beriman ? Bisa berbicara
intim dengan Tuhan ? Wah, rasanya masih jauh sekali. Disebut anak baik pun rasanya
tidak pantas mengingat Mami sering sakit kepala melihat kelakuan saya yang suka membantah.
Disebut
beriman rasanya masih jauh juga. Saat menginjak bangku SMP, saya tidak mau lagi pergi misa
bareng Papi dan Mami. Lingkungan sekolah mempunyai Gereja sendiri. Saya bersekolah di
SMP Waringin dan gerejanya adalah Gereja paroki Santo Mikael - Bandung. Saya selalu misa bersama
teman-teman SMP. Kami duduk di bangku paling belakang dan di sana kami mengobrol. Terkadang
saking asyiknya mengobrol dan tertawa heboh, kami akhirnya memperoleh tatapan penuh
amarah dari orang-orang yang duduk di depan kami.
Saat
Misa, kami selalu menanti-nantikan doa Bapa Kami. Itu karena setelah
doa Bapa Kami akan ada komuni. Dan seusai komuni, misa pun selesai.
Pulang gereja artinya main. Horee!! Nah, inilah saat
yang kami tunggu-tunggu setiap hari Minggu.
Biasanya, sehabis misa, kami akan jajan lumpia
basah di depan Gereja. Kemudian kami akan jalan menyusuri kompek sekolah menuju jalan
Kelenteng. Di jalan Kelenteng, ada dua Vihara. Salah satunya adalah Vihara yang besar
sekali, pintunya lebar berwarna merah dengan ukiran naga meliuk-liuk di
atapnya. Seringnya kami iseng masuk untuk sekedar melihat-lihat. Di dalam vihara terdapat banyak liin-lilin
besar bewarna merah. Saya ingat pada celetukan saya. Di Gereja semua lilin
putih. Di Vihara semua merah. Pabrik lilin cuman bikin dua jenis warna kayaknya
Setelah duduk di bangku SMA, saya lebih jarang lagi ke Gereja. Tiap Minggu saya bangun siang. Apalagi kalau
hari Sabtunya saya pulang tengah malam karena menghadiri acara ultah sweet seventeen-an. Misa
sore jelas tidak ada dalam agenda saya. Saya hanya aktif di Antiokhia,
kumpul-kumpul dengan teman, dan saling sharing.
Semasa kuliah saya rajin kembali
ke Gereja bareng teman-teman kampus. Apalagi saat ada TTM, kami bisa misa bareng pada Sabtu sore yang berlanjut dengan nge-date. Ketika sudah punya pacar, kami kadang mengikuti misa pagi yang dilanjutkan dengan sarapan bersama.
Lalu
tadi apa lagi ya? O iya... bisa berbicara intim dengan Tuhan. Berbicara intim
berarti berkomunikasi. Berkomunikasi artinya percakapan dua arah. Tapi
selama ini, hanya saya yang bicara. Satu kali pun saya tidak pernah merasa Tuhan berbicara
pada saya. Dalam benak saya selama ini, Tuhan berbicara itu berarti saya bisa
mendengar secara visual. Seperti nabi-nabi mendengar suara Tuhan di Perjanjian
Lama. Saya tidak tahu atau lebih tepatnya tidak pernah mau tahu bahwa Tuhan
bisa berbicara melalui orang-orang di sekitar kita atau melalui peristiwa yang
kita alami.
Sewaktu
kanak-kanak
hingga remaja, saya biasanya berdoa bila tertimpa masalah. Doa
favorit saya
adalah Novena Tiga Kali Salam Maria karena banyak orang bilang pasti
dikabulkan. Dan saya percaya sekali akan hal itu. Biasanya saya berdoa
apabila mendapatkan nilai
jelek. Juga saat minta diterima masuk SMA St. Aloysius ( sekolah favorit
se-Jawa
Barat ), saat ujian saringan masuk UNPAR. Saya juga berdoa kala sedang
patah hati atau dikhianati teman. Namun bila hidup senang atau tidak ada
masalah, saya jarang berdoa.
Saat duduk di bangku tiga SMP, Papi pernah membawakan saya buku fotocopy-an
untuk
mengingat masa sengsara Yesus dan buku itu panjangnya setengah mati.
Terdiri dari 15 doa
dan harus dibacakan selama setahun penuh tanpa putus. Saya pun membuat
janji bersama dengan Cici dan Lany untuk membaca doa itu sebelum tidur.
Setahun
kemudian
saya berteriak kegirangan karena hari ini hari terakhir doa. Saya
masih mengingat ekspresi Cici dan
Lany yang bengong nggak karuan. Kalau kuingat-ingat, jelek banget muka
mereka. Mereka
ternyata sudah putus doa entah dari kapan. Rasanya sebulan pun tak
sampai. Mereka takjub luar biasa mengetahui saya berdoa setahun penuh. Rosi ? Nggak
mungkin...nggak tipe banget. Koq bisa ya ? Hm...mereka nggak tau aja, saya doa
sampai terkantuk-kantuk. Kadang cuma dibaca asal-asalan saja. Kalian mau tahu kenapa saya bisa full doa setahun ? Karena saya takut kalau doanya putus, Tuhan
marah sama saya. Nanti saya nggak bisa masuk surga.
Sekarang
saya
baru sadar. Berdoa itu bukan karena kita takut, bukan karena ada
hukuman apabila tidak berdoa. Kita berdoa layaknya seperti anak pada
bapanya atau taat
seperti hamba pada tuannya. Noted
ya...doa jangan karena takut.
Pada
15
Juni 2002, saya menikah dengan Bertrand. Kami menjalin hubungan hampir
tiga
tahun dari perkenalan hingga menikah. Bertrand mempunyai sifat yang
sangat
logis. Terkadang saya pikir dia tidak punya perasaan. Apa yang
dipikirkan dan dirasakan jarang ia ungkapkan. Sikapnya cuek, agak tidak
sabaran. Namun, selain itu, dia sangat humoris, temannya banyak, dan
hatinya
sangat penyayang ( walau dia tidak bisa mengungkapkannya ). Saya ingat,
dahulu ada
anak burung jatuh di taman samping rumah, badannya basah, dan gemetaran.
Bertrand dengan penuh perhatian mengeringkan bulunya, memberi makan, dan
merawatnya. Selang sehari, tampaknya anak burung itu sudah sehat kembali
dan Bertrand
melepaskannya terbang.
Sedangkan
sifat saya? Kebalikan dari Bertrand. Apabila dia sangat logis, saya
orang yang menggunakan perasaan. Sikap saya sangat tergantung mood.
Banyak orang yang
mengenal saya berpikir saya orangnya cerewet, ceria, dan cuek. Tapi
keluarga dan teman dekat tahu sebenarnya sifat saya sangat sensitif.
Sifat
kami yang bertolak belakang membuat kami saling melengkapi walau
terkadang membuat
kami berantem hanya karena hal-hal sepele.
Bertrand
bekerja di perusahaan kontraktor lift dan eskalator. Dia bekerjasama dengan beberapa
rekannya. Rutinitas Bertrand, Setiap pagi pukul setengah tujuh, ia mengantar anak-anak sekolah kemudian langsung
menuju kantor. Jarak rumah dengan kantor memang agak jauh hingga bisa memakan satu jam
perjalanan. Malam hari sekitar pukul setengah delapan, biasanya Bertrand sudah tiba di rumah. Kami terbiasa
makan malam bersama dan bermain dengan anak-anak hingga waktu anak-anak
tidur.
Saya
sendiri bekerja sebagai agen properti. Kami berempat ( saya, Aming, Herry, dan
alm. Om Rustam Gunawan ) membeli franchise agen properti dan membuka kantor di
Apartemen Mediterania Garden Residences 1 & 2 serta di Gading Serpong.
Bekerja sebagai agen properti memberi saya waktu kerja yang fleksible. Oleh karenanya, saya masih bisa
ke pasar pagi-pagi, ikut senam, dan mengantar anak les pada sore hari.
Kami
dikarunia tiga orang anak. Patricia (2003), Darren (2005), dan Fermi (2007).
Kami berusaha mendidik mereka dengan baik dengan tidak memanjakan dan mengajarkan
mereka mandiri. Apabila anak lain berusia dua setengah tahun masih memakai botol susu,
Bertrand menyuruh baby sitter membuang semua botol. Saya ingat betul Riris - the nanny menangis sewaktu membuang botol
susu Fermi. Anak-anak dibiasakan minum susu langsung dari gelas atau dengan
menggunakan sedotan. Pada umur empat tahun, anak-anak harus bisa makan sendiri dan tidak boleh disuapi. Baby
sitter hanya bertugas mengawasi saja.
Setiap
Minggu pagi kami sekeluarga misa di Gereja St. Andreas - Green Garden. Saat Bertrand dan saya misa,
anak-anak sekolah Minggu. Anak-anak termasuk aktif dalam kegiatan Gereja.
Apabila ada Natal atau Paskah, mereka mengisi acara seperti drama atau paduan
suara.
Walau
saya rajin ke Gereja, tapi saya tidak merasakan hubungan intim dengan
Tuhan. seusai misa ya pulang. Tidak ada perasaan apa-apa. Saya tidak merasa ada
buah-buah roh yang muncul. Pergi ke Gereja seperti sebuah kewajiban. Apabila tidak ke Gereja maka rasanya tidak enak. Itu saja !
Titik
balik
perjalanan iman saya terjadi tepat tahun lalu ketika Bertrand sakit.
Mulai sejak menyadari bahwa Bertrand sakit hingga mujizat terjadi itu
memakan waktu dua belas hari lamanya. Karena itu saya akan mencoba men-sharing pengalaman saya setiap harinya. Di mana banyak sekali pikiran dan pergumulan batin yang terjadi. Saya
banyak bertemu orang-orang yang mempunyai kisah yang sungguh-sungguh memperkaya
iman saya.
Pada
hari kedua belas, saya menengadahkan kepala ke langit dan berseru, "Tuhan,
selama ini saya bercita-cita pengin nulis buku. Sekarang saya tahu apa yang
harus saya tulis. Saya akan bikin buku menceritakan apa yang terjadi selama dua belas hari ini.
Kalau sampai dari buku itu saya dapat uang, nanti akan saya sumbangin ke yayasan "
Persiapan
menulis sangatlah heboh. Saya beli keyboard untuk Samsung Tab 2 untuk mempermudah penulisan. Belanja camilan, beli minuman, beli headset supaya bisa nulis sambil mendengar
lagu-lagu. Benar-benar siap tempur ceritanya Semangat 45 sekali lho.
Ternyata
menulis tidak semudah yang saya bayangkan. Bolehlah saya cerewet, pintar cerita,
tapi menulis adalah perkara lain. Perjalanan hari pertama, lancar saya tulis.
Perjalanan hari kedua hanya sanggup setengah saja yang dibuat dengan waktu singkat. Setengahnya lagi mulai slow down kembali. Banyak alasan. Entah sibuk kerja, ngurus anak, serial Korea seru yang belum tamat, atau novel
setumpuk yang menggoda mata.
Perjalanan
hari ketiga baru beberapa baris dan.....Samsungku hilang.
Keep writing Ci Anna, ditunggu kisah2 selanjutnya
BalasHapus