Rabu, 26 Maret 2014

Prolog



12 HARI PERJALANAN IMAN


Prolog
             
Halo...
Nama saya Rosiana Susanta. Panggilan sehari-hari Rosi, tapi keluarga dan teman-teman semasa kecil suka memanggil saya Oci. Itu karena saat kanak-kanak, saya tidak bisa menyebut nama Rosi. 
        Saya adalah anak kedua dari tiga orang bersaudara. Kami perempuan semua. Kakak saya bernama Prissilia, biasa saya panggil Ci Picy. Dan adik saya bernama Melany, dipanggil Lany.
          Sedari kecil, kami bertiga dididik secara Katolik. Dari TK hingga SMA selalu bersekolah di sekolah Katolik. Setiap hari Minggu harus ke Gereja, saat kelas tiga SD wajib ikut bimbingan komuni pertama, kelas dua SMP ikut Sakramen Penguatan, dan sempat juga jadi organis mengiringi misa di sekolah atau lingkungan. Kami bertiga juga sempat aktif di kegiatan Antiokhia - Bandung, wadah anak-anak remaja Katollik berkumpul. Papi dan Mami sempat menjadi aktivis di Gereja seperti Legio, Wanita Katolik, ME, bahkan sekarang Papi menjadi prodiakon.
            Dengan didikan seperti itu, apakah saya anak yang baik ? Beriman ? Bisa berbicara intim dengan Tuhan ? Wah, rasanya masih jauh sekali. Disebut anak baik pun rasanya tidak pantas mengingat Mami sering sakit kepala melihat kelakuan saya yang suka membantah.
            Disebut beriman rasanya masih jauh juga. Saat menginjak bangku SMP, saya tidak mau lagi pergi misa bareng Papi dan Mami. Lingkungan sekolah mempunyai Gereja sendiri. Saya bersekolah di SMP Waringin dan gerejanya adalah Gereja paroki Santo Mikael - Bandung. Saya selalu misa bersama teman-teman SMP. Kami duduk di bangku paling belakang dan di sana kami mengobrol. Terkadang saking asyiknya mengobrol dan tertawa heboh, kami akhirnya memperoleh tatapan penuh amarah dari orang-orang yang duduk di depan kami.
            Saat Misa, kami selalu menanti-nantikan doa Bapa Kami. Itu karena setelah doa Bapa Kami akan ada komuni. Dan seusai komuni, misa pun selesai. Pulang gereja artinya main. Horee!! Nah, inilah saat  yang kami tunggu-tunggu setiap hari Minggu. 
            Biasanya, sehabis misa, kami akan jajan lumpia basah di depan Gereja. Kemudian kami akan jalan menyusuri kompek sekolah menuju jalan Kelenteng. Di jalan Kelenteng, ada dua Vihara. Salah satunya adalah Vihara yang besar sekali, pintunya lebar berwarna merah dengan ukiran naga meliuk-liuk di atapnya. Seringnya kami iseng masuk untuk sekedar melihat-lihat. Di dalam vihara terdapat banyak liin-lilin besar bewarna merah. Saya ingat pada celetukan saya. Di Gereja semua lilin putih. Di Vihara semua merah. Pabrik lilin cuman bikin dua jenis warna kayaknya
            Setelah duduk di bangku SMA, saya lebih jarang lagi ke Gereja. Tiap Minggu saya bangun siang. Apalagi kalau  hari Sabtunya saya pulang tengah malam karena menghadiri acara ultah sweet seventeen-an.  Misa sore jelas tidak ada dalam agenda saya. Saya hanya aktif di Antiokhia, kumpul-kumpul dengan teman, dan saling sharing.     
          Semasa kuliah  saya rajin kembali ke Gereja bareng teman-teman kampus. Apalagi saat ada TTM, kami bisa misa bareng pada Sabtu sore yang berlanjut dengan nge-date.  Ketika sudah punya pacar, kami kadang mengikuti misa pagi yang dilanjutkan dengan sarapan bersama.
            Lalu tadi apa lagi ya? O iya... bisa berbicara intim dengan Tuhan. Berbicara intim berarti berkomunikasi. Berkomunikasi artinya percakapan dua arah. Tapi selama ini, hanya saya yang bicara. Satu kali pun saya tidak pernah merasa Tuhan berbicara pada saya. Dalam benak saya selama ini, Tuhan berbicara itu berarti saya bisa mendengar secara visual. Seperti nabi-nabi mendengar suara Tuhan di Perjanjian Lama. Saya tidak tahu atau lebih tepatnya tidak pernah mau tahu bahwa Tuhan bisa berbicara melalui orang-orang di sekitar kita atau melalui peristiwa yang kita alami.
            Sewaktu kanak-kanak hingga remaja, saya biasanya berdoa bila tertimpa masalah. Doa favorit saya adalah Novena Tiga Kali Salam Maria karena banyak orang bilang pasti dikabulkan. Dan saya percaya sekali akan hal itu. Biasanya saya berdoa apabila mendapatkan nilai jelek. Juga saat minta diterima masuk SMA St. Aloysius ( sekolah favorit se-Jawa Barat ), saat ujian saringan masuk UNPAR. Saya juga berdoa kala sedang patah hati atau dikhianati teman. Namun bila hidup senang atau tidak ada masalah, saya jarang berdoa.
            Saat duduk di bangku tiga SMP, Papi pernah membawakan saya buku fotocopy-an  untuk mengingat masa sengsara Yesus dan  buku itu panjangnya setengah mati. Terdiri dari 15 doa dan harus dibacakan selama setahun penuh tanpa putus. Saya pun membuat janji bersama dengan Cici dan Lany untuk membaca doa itu sebelum tidur.
            Setahun kemudian saya berteriak kegirangan karena hari ini hari terakhir doa.  Saya masih mengingat ekspresi Cici dan Lany yang bengong nggak karuan. Kalau kuingat-ingat, jelek banget muka mereka. Mereka ternyata sudah putus doa entah dari kapan. Rasanya sebulan pun tak sampai. Mereka takjub luar biasa mengetahui saya berdoa setahun penuh. Rosi ? Nggak mungkin...nggak tipe banget. Koq bisa ya ? Hm...mereka nggak tau aja, saya doa sampai terkantuk-kantuk. Kadang cuma dibaca asal-asalan saja. Kalian mau tahu  kenapa saya bisa full doa setahun ? Karena saya takut kalau doanya putus, Tuhan marah sama saya. Nanti saya nggak bisa masuk surga.
            Sekarang saya baru sadar. Berdoa itu bukan karena kita takut, bukan karena ada hukuman apabila tidak berdoa. Kita berdoa layaknya seperti anak pada bapanya atau taat seperti hamba pada tuannya. Noted ya...doa jangan karena takut.
            Pada 15 Juni 2002, saya menikah dengan Bertrand. Kami menjalin hubungan hampir tiga tahun dari perkenalan hingga menikah. Bertrand mempunyai sifat yang sangat logis. Terkadang saya pikir dia tidak punya perasaan. Apa yang dipikirkan dan dirasakan jarang ia ungkapkan. Sikapnya cuek, agak tidak sabaran. Namun, selain itu, dia sangat humoris, temannya banyak, dan hatinya sangat penyayang ( walau dia tidak bisa mengungkapkannya ). Saya ingat, dahulu ada anak burung jatuh di taman samping rumah, badannya basah, dan gemetaran. Bertrand dengan penuh perhatian mengeringkan bulunya, memberi makan, dan merawatnya. Selang sehari, tampaknya anak burung itu sudah sehat kembali dan Bertrand melepaskannya terbang.
            Sedangkan sifat saya? Kebalikan dari Bertrand. Apabila dia sangat logis, saya orang yang menggunakan perasaan. Sikap saya sangat tergantung mood. Banyak orang yang mengenal saya berpikir saya orangnya cerewet, ceria, dan cuek. Tapi keluarga dan teman dekat tahu sebenarnya sifat saya sangat sensitif. Sifat kami yang bertolak belakang membuat kami saling melengkapi walau terkadang membuat kami berantem hanya karena hal-hal sepele.
            Bertrand bekerja di perusahaan kontraktor lift dan eskalator. Dia bekerjasama dengan beberapa rekannya. Rutinitas Bertrand, Setiap pagi pukul setengah tujuh, ia mengantar anak-anak sekolah kemudian langsung menuju kantor. Jarak rumah dengan kantor memang agak jauh hingga bisa memakan  satu jam perjalanan. Malam hari sekitar pukul setengah delapan, biasanya Bertrand sudah tiba di rumah. Kami terbiasa makan malam bersama dan bermain dengan anak-anak hingga waktu anak-anak tidur.
            Saya sendiri bekerja sebagai agen properti. Kami berempat ( saya, Aming, Herry, dan alm. Om Rustam Gunawan ) membeli franchise agen properti dan membuka kantor di Apartemen Mediterania Garden Residences 1 & 2 serta di Gading Serpong. Bekerja sebagai agen properti memberi saya waktu kerja yang fleksible. Oleh karenanya, saya masih bisa ke pasar pagi-pagi, ikut senam, dan mengantar anak les pada sore hari.
            Kami dikarunia tiga orang anak. Patricia (2003), Darren (2005), dan Fermi (2007). Kami berusaha mendidik mereka dengan baik dengan tidak memanjakan dan mengajarkan mereka mandiri. Apabila anak lain berusia dua setengah tahun masih memakai botol susu, Bertrand menyuruh baby sitter membuang semua botol. Saya ingat betul Riris - the nanny menangis sewaktu membuang botol susu Fermi. Anak-anak dibiasakan minum susu langsung dari gelas atau dengan menggunakan sedotan. Pada umur empat tahun, anak-anak harus bisa makan sendiri dan  tidak boleh disuapi. Baby sitter hanya bertugas mengawasi saja.
            Setiap Minggu pagi kami sekeluarga misa di  Gereja St. Andreas - Green Garden. Saat Bertrand dan saya misa, anak-anak sekolah Minggu. Anak-anak termasuk aktif dalam kegiatan Gereja. Apabila ada Natal atau Paskah, mereka mengisi acara seperti drama atau paduan suara.
            Walau saya rajin ke Gereja, tapi saya tidak merasakan hubungan intim dengan Tuhan. seusai misa ya pulang. Tidak ada perasaan apa-apa. Saya tidak merasa ada buah-buah roh yang muncul. Pergi ke Gereja seperti sebuah kewajiban. Apabila tidak ke Gereja maka rasanya tidak enak. Itu saja !
            Titik balik perjalanan iman saya terjadi tepat tahun lalu ketika Bertrand sakit. Mulai sejak menyadari bahwa Bertrand sakit hingga mujizat terjadi itu memakan waktu dua belas hari lamanya.  Karena itu saya akan mencoba men-sharing pengalaman saya setiap harinya. Di mana banyak sekali pikiran dan pergumulan batin yang terjadi. Saya banyak bertemu orang-orang yang mempunyai kisah yang sungguh-sungguh memperkaya iman saya.
            Pada hari kedua belas, saya menengadahkan kepala ke langit dan berseru,  "Tuhan, selama ini saya bercita-cita pengin nulis buku. Sekarang saya tahu apa yang harus saya tulis. Saya akan bikin buku menceritakan apa yang terjadi selama dua belas hari ini. Kalau sampai dari buku itu saya dapat uang, nanti akan  saya sumbangin ke yayasan "
            Persiapan menulis sangatlah heboh. Saya beli keyboard untuk Samsung Tab 2 untuk mempermudah penulisan. Belanja camilan, beli minuman, beli headset supaya bisa nulis sambil mendengar lagu-lagu. Benar-benar siap tempur ceritanya Semangat 45 sekali lho.
            Ternyata menulis tidak semudah yang saya bayangkan. Bolehlah saya cerewet, pintar cerita, tapi menulis adalah perkara lain. Perjalanan hari pertama, lancar saya tulis. Perjalanan hari kedua hanya sanggup setengah saja yang dibuat dengan waktu singkat. Setengahnya lagi mulai slow down kembali. Banyak alasan. Entah sibuk kerja, ngurus anak, serial Korea seru yang belum tamat, atau novel setumpuk yang menggoda mata.
            Perjalanan hari ketiga baru beberapa baris dan.....Samsungku hilang.
Keterangan Foto:
1. Lany, Ci Prissy, dan saya (Rosi)
2. Saya dan Bertrand
3. Keluarga Susanta tahun 1980-an
4. Gereja Santo Mikael - Bandung tempo dulu
5. Gereja Santo Mikael sekarang. Thanks Papi buat foto-foto gerejanya

1 komentar: