Dr Wim memperhatikan hasil CT Scan dan beliau memberikan perbandingan contoh paru-paru yang sehat dengan yang punya Bertrand. Di situ memang terlihat jelas kalau paru-paru Bertrand tidak bersih seperti ada bayangan berkabut. Kami pun banyak melakukan tanya jawab dengan dokter :
Bertrand : " Dok, mungkin tidak saya terkena TBC?"
Dokter Wim : " Rasanya tidak, karena kalau TBC bentuknya berbeda dengan ini. Kalau TBC bayangannya berupa flek-flek, yang kamu mengumpul seperti benjolan. Tapi saya tidak bisa langsung ambil kesimpulan apa pun saat ini. Untuk tahu itu apa, harus di biopsi. Gimana kalau hari ini biopsi saja dengan dokter Handoko di Graha Kedoya. Pagi ini jam 8 dia sudah ada."
Mama : "Maaf Dok, kalau memang harus biopsi, kami rencananya mau di Singapore saja. Takutnya disini biopsi nanti berobat kesana harus biopsi ulang "
Dokter Wim : "Oh nggak apa-apa. Mau berobat kemana pun itu hak pasien. Cuma saran saya, kalau mau ke Singapore, cepatlah diurus pergi. Segera cari tiket dan cari rekomendasi dokter paru yang bagus disana."
Deg ! Mendengar itu saya langsung semakin takut. Kalau dokter menyuruh segera pergi, artinya dokter pasti sudah ada feeling ke arah mana penyakit Bertrand. Pasti bukan main-main lagi. Ternyata Bertrand pun mempunyai pikiran yang sama dengan saya, dia juga bingung kenapa dokter menyuruh biopsi dan pergi berobat sesegera mungkin.
Di mobil menuju pulang kami membahas kapan baiknya pergi ke Singapore. Saya usul hari Rabu karena hari ini dan besok akan mencari dokter, mempersiapkan pelajaran anak-anak dan membereskan keadaan rumah selama kami pergi. Tetapi Mama usul supaya Selasa ( besok ) sudah pergi, semakin cepat semakin baik. Kami pun semua setuju.
Sampai di rumah, saya langsung menuju pasar Puri untuk berbelanja kebutuhan dapur selama kami tinggalkan. Saya jemput Lucia dan Jane untuk menemani ke pasar. Kami berteman baik, kemana-mana kami selalu bersama termasuk rutinitas ke pasar dua-tiga kali seminggu.
Sebenarnya kami bersahabat sembilan orang. Kami berkenalan dan langsung dekat pada tahun 2005. Anak-anak kami sekolah di preschool Ladybird - Kedoya. Sambil menemani anak sekolah, kami mengobrol, ke pasar bareng, makan pagi bareng, arisan dan tetap bersahabat sampai sekarang walupun sekolah SD anak-anak kami terpencar-pencar.
Dengan berbagai kesibukan dan jarak rumah yang agak berjauhan, biasanya yang paling sering ketemu hanya kami bertiga. Bisa lengkap berkumpul kalau weekend, ada yang ulang tahun atau bila saat Didi - salah satu sahabat yang rumahnya di daerah TMII datang ke sekitar Jakarta Barat. Walaupun jarang bertemu, tapi tiap hari kami tetap keep in touch di grup BB dengan nama group De Elite. Anggota De Elite adalah Anne, Devy, Didi ( Diah ), Erni, Helena, Jane, Lucia, Rosi dan Sandra ( in alphabetical order…kalau nggak berurutan, mereka suka menuduh saya pilih kasih. Lebih sayang si inilah, si itulah. Padahal saya sayang semua. Beneran deh…)
Sesampai di pasar saat hendak parkir, saya berkata pada Lucia, " L...(panggilan saya buat Lucia ), titip belanjaan ya biar cepet. Nggak sanggup juga beli-beli. Titip ayam dua ekor potong 12, cumi 1/4, udang sekilo, telor negri sekilo trus yang kampung 15. Buah terserah lu lah, si engko buah juga tau selera gua koq. Duitnya ntar ya itung-itungan."
Lucia pun hanya menggangguk, dia pasti tahu kalau saya lagi galau. Jane dan Lucia lalu turun dulu untuk berbelanja sementara saya mencari parkir. Kami berjanji akan ketemu di bakmi Planet sehabis mereka belanja.
Kenapa saya sampai titip belanjaan? Karena sebenarnya saya tidak kuat lagi, saya pengen nangis keras-keras. Sehabis parkir, saya telepon mama, "Ma, ini gimana? Saya bingung, takut dan ingin nangis terus. Gimana kalo Bertrand ada apa-apa?"
Mama pun menghibur dan menguatkan saya dengan berkata, "Kamu jangan nangis. Sedih ya sedih, bingung ya bingung. Tapi kamu harus kuat, ingat ada anak-anak. Kamu harus kuat. Apa juga yang bakalan terjadi, hadapi saja. Mama dan Papa pasti bantu dampingi."
Di bakmi Planet saya sama sekali tidak ada napsu makan. Padahal biasanya saya pasti beli mie karet atau laksa Cibinong. Jane berinisiatif memesan nasi tim buat saya. Saya dipaksa makan. Saya coba makan sesuap tapi langsung rasanya mau muntah. Saking stresnya, asam lambung saya naik, terlebih selama ini saya memang punya penyakit maag.
Jane menasehati, "Gua tau lu pusing, stres, laki lu sakit. Tapi lu harus makan. Gimana mau kuat dampingi dia kalo lu sendiri nggak makan? Gua tau takutnya kayak apa, gua udah rasain walau yang sakit bukan laki gua."
Jane memang ada pengalaman pribadi, papanya terkena kanker usus dan meninggal tahun 2012. Kehilangan papanya membuat dia sedih hingga sekarang. Hubungan Jane dengan papanya memang sangat dekat sekali.
"Iya Ros, makan dong, dikit aja. Ntar maagnya kumat lagi. Gua pesenin susu kacang ya. Nasi tim nggak masuk ya udah deh, tapi susunya diminum," celoteh Lucia.
"Nggak napsu nih. Teler juga udah berapa hari nggak bisa tidur," jawab saya lemas.
Mereka menganjurkan saya beli obat yang bisa bikin lelap tidur. Berbahan dasar alami, tidak mengakibatkan ketergantungan dan sudah lulus uji badan POM. Saya pun menyetujuinya, daripada nggak bisa tidur terus, kalau sampai sakit, siapa yang bisa dampingi Bertrand?
Dua teman baik saya ini mempunyai sifat yang berbeda. Jane orangnya ceria, ceplas-ceplos dan hobi beres-beres rumah. Kalau Lucia sifatnya tenang, lembut, siap diajak (diculik paksa) kapan saja, available 24 hours dan hobi dandan. Kalau tanya soal yayasan suster, alat-alat pembersih rumah, dokter anak, Jane pakarnya. Kalau sakit minta dianterin ke dokter, cari temen makan, beli baju dan make up, Lucia is the best.
Lucia pun punya pengalaman pribadi. Mertua perempuannya terkena kanker rahim dan getah bening. Selama hampir 2 tahun, Lucialah yang mengurus mertuanya bahkan setiap operasi dan check up di Singapore, biasanya Lucia yang diutus menemani. Kami pun bercakap-cakap tentang pengobatan kanker, dokter-dokter kanker mana yang bagus berdasarkan pengalaman mereka akan hal ini. Entah kenapa secara tidak sadar, kami semua seakan-akan memikirkan hasil yang terburuk. Memang hati kecil saya pun takut sekali kalau Bertrand terkena kanker paru.
Sehabis pulang dari pasar, saya mengirimkan pesan BBM pada sepupu Bertrand. Pasangan suami istri Michel - Rubby. Selain sepupu suami saya, mereka pun termasuk sahabat kami yang paling dekat. Saya menceritakan penyakit Bertrand dan menanyakan dokter paru Michel di Singapore. Saya ingat beberapa tahun yang lalu, Michel pernah sakit batuk-batuk dan tidak kunjung sembuh. Menurut Michel, dia berobat di Mount Elizabeth Hospital dengan dr. Chan Tiong Beng. Dokternya oke menurut Michel.
Sepagian itu rasanya saya sibuk sekali. Hari terasa lambat sekali, padahal masih pukul 10 pagi. Saya pun telepon Currie ( adik kandung Bertrand ) dan meminta tolong, "Cur, minta tolong ya, pesenin tiket ke Sing buat besok sama hotel. Berapa orang yang pergi sama berapa lama di sana, gw nggak bisa mikir. Tanya Mama aja baiknya gimana. Gw lagi mau bikin janji sama dokter dulu."
Currie jawab, "Tiket udah gw pesen koq ke si Benny ( teman Currie yang punya usaha tour & travel ). Besok yang pergi lu, Bertrand, Mama dan Papa. Soal hotel ntar gw urusin."
Currie ini adik perempuan Bertrand satu-satunya. Dari dulu orangnya cekatan sekali, apa-apa juga sigap dan cepat. Thanks a bunch ya Cur...love you. Mengetahui urusan tiket dan hotel sudah ditangani dengan baik, tanpa buang waktu lagi saya telepon Parkway.
ParkwayHealth adalah penyedia layanan kesehatan di Asia. Parkway mengelola tiga rumah sakit di Singapore yaitu : RS Gleneagles, Mount Elizabeth dan RS Parkway East. Apabila kita mau berobat ke Singapore, kita bisa menelepon ke ParkwayHealth Indonesia dan membuat janji temu dengan dokter yang kita kehendaki.
Begitu tersambung dengan Parkway, saya langsung membuat janji besok sehabis makan siang dengan dr. Chan Tiong Beng. Apa daya, ternyata dr. Chan sedang cuti. Saya menanyakan apa ada dokter paru lain yang bagus dan bapak penerima telepon Parkway mengatakan kalau Prof. Dr. Philip Eng besok ada.
Beliau dokter paru yang terkenal dan banyak yang dicari orang. Karena saya sama sekali tidak ada bayangan akan okter paru lain, saya pun mengiyakannya. Parkway mengatakan bahwa besok pukul 11 siang, kami sudah didaftarkan untuk bertemu Prof. Dr. Phiilp Eng. Saya berdoa pada Tuhan agar dokter Philip ini bagus dan bisa cocok dengan Bertrand. Saya pun segera googling mengenai dokter Philip ini. Wow....ternyata menurut hasil pencarian saya...he is one of the best lung doctor. Perjalanan karirnya pun saya temukan. Ternyata beliau mendapatkan beberapa penghargaan dan pernah atau masih mengepalai banyak organisasi kesehatan di bidang paru. Thanks Jesus, thanks Holly Marry...iman saya mengatakan kami mendapatkan dokter yang tepat.
Kabar mengenai kesehatan Bertrand segera saya ceritakan pada Papi dan Mami. Minta dukungan doa pada Papi, Mami, Ci Prissy dan Lany. Saya minta bantuan Mami untuk segera ke Jakarta dan menjaga anak-anak selama kami di Singapore. Mami panik dan segera mencari travel ke Jakarta. Kami menghabiskan siang itu dengan ke bank, tukar uang di money changer, jemput Mami di travel pada petang hari dan mempersiapkan semua hal buat keberangkatan besok
Kala saya sendirian, tiba-tiba saya teringat pada Pastur kami yang dahulu aktif di Antiokhia. RD. Andreas Sudarman, saya biasa memanggilnya Pastur Darman. Pastur ini akrab dengan keluarga kami di Bandung. Saya terakhir ketemu saat pemberkatan rumah Lany beberapa tahun yang lalu. Saya tidak punya no ponselnya, tidak terpikir juga untuk menanyakannya pada cici atau Lany. Jadi saya meminta dukungan doa untuk kesembuhan Bertrand lewat message di Facebook. Moga-moga Pastur nggak sibuk dan bisa membuka message-saya.
Seusai makan malam, saya curhat ke Mami. Saya ceritakan segala ketakutan saya akan kemungkinan Bertrand terkena kanker paru. Sambil berkaca-kaca Mami berucap, "Kamu pasrah aja sama Tuhan. Kalaupun Bertrand ternyata sakit, Mami yakin Bertrand pasti sembuh total. Bertrand masih muda, badannya kuat, papa-mama mertua juga nggak mungkin diam liat anaknya sakit. Pasti semua dukung bawa doa."
Mami adalah seorang yang sangat perasa dan sensitif hatinya. Di depan saya, Mami bisa menghibur dan menguatkan saya walau sebenarnya saya tahu dalam hatinya, Mami pun takut dan gelisah. Beliau tidak memperlihatkannya pada saya karena mami kenal benar akan sifat saya yang gampang panik.
Malam hari, seperti biasa saya mengulang malam-malam kemarin...doa Novena 3x Salam Maria, doa mujijat, doa pribadi dan mata yang tak terpejam walau sudah minum obat tidur berbahan alami. Pak hansip saya dengar memukul tiang listrik sampai tiga kali berbarengan dengan weker yang berbunyi. Kami harus segera bersiap-siap menuju negara tetangga.
Keterangan gambar :
1. Jane, Rosi dan Lucia
2. De Elite tahun 2007
Atas : Devy, Anne, Sandra, Jane, Lucia
Bawah : Rosi, Helena, Didi, Erni
3. Messageku pada Facebook Pastur Andreas Sudarman.