Senin, 31 Maret 2014

Hari 5 : 1 April 2013


          Pukul 6 pagi Papa dan Mama sudah menjemput kami untuk mengunjungi dokter Wim. Tidak sampai 15 menit kami sudah tiba di tempat prakteknya di Apotek Trisakti. Rumah saya di daerah Duri Kepa memang dekat ke Grogol, apalagi hari masih pagi sehingga terhindar dari kemacetan. Sesampai di sana kami hanya menunggu satu pasien saja dan tak lama kemudian kami dipersilakan masuk. Bertrand melaporkan bahwa tidak ada dahak yang keluar. Dr Wim mengatakan kalau tidak ada yang keluar, ya tidak apa-apa karena memang tidak bisa dipaksakan keluar dahaknya. 
          Dr Wim memperhatikan hasil CT Scan dan beliau memberikan perbandingan contoh paru-paru yang sehat dengan yang punya Bertrand. Di situ memang terlihat jelas kalau paru-paru Bertrand tidak bersih seperti ada bayangan berkabut. Kami pun banyak melakukan tanya jawab dengan dokter : 
Bertrand       : " Dok, mungkin tidak saya terkena TBC?" 
Dokter Wim : " Rasanya tidak, karena kalau TBC bentuknya berbeda dengan ini. Kalau TBC bayangannya berupa flek-flek, yang kamu mengumpul seperti benjolan. Tapi saya tidak bisa langsung ambil kesimpulan apa pun saat ini. Untuk tahu itu apa, harus di biopsi. Gimana kalau hari ini biopsi saja dengan dokter Handoko di Graha Kedoya. Pagi ini jam 8 dia sudah ada." 
Mama         : "Maaf Dok, kalau memang harus biopsi, kami rencananya mau di Singapore saja. Takutnya disini biopsi nanti berobat kesana harus biopsi ulang " 
Dokter Wim : "Oh nggak apa-apa. Mau berobat kemana pun itu hak pasien. Cuma saran saya, kalau mau ke Singapore, cepatlah diurus pergi. Segera cari tiket dan cari rekomendasi dokter paru yang bagus disana." 
          Deg ! Mendengar itu saya langsung semakin takut. Kalau dokter menyuruh segera pergi, artinya dokter pasti sudah ada feeling ke arah mana penyakit Bertrand. Pasti bukan main-main lagi. Ternyata Bertrand pun mempunyai pikiran yang sama dengan saya, dia juga bingung kenapa dokter menyuruh biopsi dan pergi berobat sesegera mungkin. 
          Di mobil menuju pulang kami membahas kapan baiknya pergi ke Singapore. Saya usul hari Rabu karena hari ini dan besok akan mencari dokter, mempersiapkan pelajaran anak-anak dan membereskan keadaan rumah selama kami pergi. Tetapi Mama usul  supaya Selasa ( besok ) sudah pergi, semakin cepat semakin baik. Kami pun semua setuju.       
              Sampai di rumah, saya langsung menuju pasar Puri untuk berbelanja kebutuhan dapur selama kami tinggalkan. Saya jemput Lucia dan Jane untuk menemani ke pasar. Kami berteman baik, kemana-mana kami selalu bersama termasuk rutinitas ke pasar dua-tiga kali seminggu. 
          Sebenarnya kami bersahabat sembilan orang. Kami berkenalan dan langsung dekat pada tahun 2005. Anak-anak kami sekolah di preschool Ladybird - Kedoya. Sambil menemani anak sekolah, kami mengobrol, ke pasar bareng, makan pagi bareng, arisan dan tetap bersahabat sampai sekarang walupun sekolah SD anak-anak kami terpencar-pencar.       
        Dengan berbagai kesibukan dan jarak rumah yang agak berjauhan, biasanya yang paling sering ketemu hanya kami bertiga. Bisa lengkap berkumpul kalau weekend, ada yang ulang tahun atau bila saat Didi - salah satu sahabat yang rumahnya di daerah TMII datang ke sekitar Jakarta Barat. Walaupun jarang bertemu, tapi tiap hari kami tetap keep in touch di grup BB dengan nama group De Elite. Anggota De Elite adalah Anne, Devy, Didi ( Diah ), Erni, Helena, Jane, Lucia, Rosi dan Sandra ( in alphabetical order…kalau nggak berurutan, mereka suka menuduh saya pilih kasih. Lebih sayang si inilah, si itulah. Padahal saya sayang semua. Beneran deh…) 
          Sesampai di pasar saat hendak parkir, saya berkata pada Lucia, " L...(panggilan saya buat Lucia ), titip belanjaan ya biar cepet. Nggak sanggup juga beli-beli. Titip ayam dua ekor potong 12, cumi 1/4, udang sekilo, telor negri sekilo trus yang kampung 15. Buah terserah lu lah, si engko buah juga tau selera gua koq. Duitnya ntar ya itung-itungan."  
         Lucia pun hanya menggangguk, dia pasti tahu kalau saya lagi galau. Jane dan Lucia lalu turun dulu untuk berbelanja sementara saya mencari parkir. Kami berjanji akan ketemu di bakmi Planet sehabis mereka belanja. 
         Kenapa saya sampai titip belanjaan? Karena sebenarnya saya tidak kuat lagi, saya pengen nangis keras-keras. Sehabis parkir, saya telepon mama, "Ma, ini gimana? Saya bingung, takut dan ingin nangis terus. Gimana kalo Bertrand ada apa-apa?"
         Mama pun menghibur dan menguatkan saya dengan berkata, "Kamu jangan nangis. Sedih ya sedih, bingung ya bingung. Tapi kamu harus kuat, ingat ada anak-anak. Kamu harus kuat. Apa juga yang bakalan terjadi, hadapi saja. Mama dan Papa pasti bantu dampingi."
          Di bakmi Planet saya sama sekali tidak ada napsu makan. Padahal biasanya saya pasti beli mie karet atau laksa Cibinong. Jane berinisiatif memesan nasi tim buat saya. Saya dipaksa makan. Saya coba makan sesuap tapi langsung rasanya mau muntah. Saking stresnya, asam lambung saya naik, terlebih selama ini saya memang punya penyakit maag. 
          Jane menasehati, "Gua tau lu pusing, stres, laki lu sakit. Tapi lu harus makan. Gimana mau kuat dampingi dia kalo lu sendiri nggak makan? Gua tau takutnya kayak apa, gua udah rasain walau yang sakit bukan laki gua."
          Jane memang ada pengalaman pribadi, papanya terkena kanker usus dan meninggal tahun 2012. Kehilangan papanya membuat dia sedih hingga sekarang. Hubungan Jane dengan papanya memang sangat dekat sekali. 
         "Iya Ros, makan dong, dikit aja. Ntar maagnya kumat lagi. Gua pesenin susu kacang ya. Nasi tim nggak masuk ya udah deh, tapi susunya diminum," celoteh Lucia. 
          "Nggak napsu nih. Teler juga udah berapa hari nggak bisa tidur," jawab saya lemas.
          Mereka menganjurkan saya beli obat yang bisa bikin lelap tidur. Berbahan dasar alami, tidak mengakibatkan ketergantungan dan sudah lulus uji badan POM. Saya pun menyetujuinya, daripada nggak bisa tidur terus, kalau sampai sakit, siapa yang bisa dampingi Bertrand?
          Dua teman baik saya ini mempunyai sifat yang berbeda. Jane orangnya ceria, ceplas-ceplos dan hobi beres-beres rumah. Kalau Lucia sifatnya tenang, lembut, siap diajak (diculik paksa) kapan saja, available 24 hours dan hobi dandan. Kalau tanya soal yayasan suster, alat-alat pembersih rumah, dokter anak, Jane pakarnya. Kalau sakit minta dianterin ke dokter, cari temen makan, beli baju dan make up, Lucia is the best. 
          Lucia pun punya pengalaman pribadi. Mertua perempuannya terkena kanker rahim dan getah bening. Selama hampir 2 tahun, Lucialah yang mengurus mertuanya bahkan setiap operasi dan check up di Singapore, biasanya Lucia yang diutus menemani. Kami pun bercakap-cakap tentang pengobatan kanker, dokter-dokter kanker mana yang bagus berdasarkan pengalaman mereka akan hal ini. Entah kenapa secara tidak sadar, kami semua seakan-akan memikirkan hasil yang terburuk. Memang hati kecil saya pun takut sekali kalau Bertrand terkena kanker paru. 
          Sehabis pulang dari pasar, saya mengirimkan pesan BBM pada sepupu Bertrand. Pasangan suami istri Michel - Rubby. Selain sepupu suami saya, mereka pun termasuk sahabat kami yang paling dekat. Saya menceritakan penyakit Bertrand dan menanyakan dokter paru Michel di Singapore. Saya ingat beberapa tahun yang lalu, Michel pernah sakit batuk-batuk dan tidak kunjung sembuh. Menurut Michel, dia berobat di Mount Elizabeth Hospital dengan dr. Chan Tiong Beng. Dokternya oke menurut Michel. 
          Sepagian itu rasanya saya sibuk sekali. Hari terasa lambat sekali, padahal masih pukul 10 pagi. Saya pun telepon Currie ( adik kandung Bertrand ) dan meminta tolong, "Cur, minta tolong ya, pesenin tiket ke Sing buat besok sama hotel. Berapa orang yang pergi sama berapa lama di sana, gw nggak bisa mikir. Tanya Mama aja baiknya gimana. Gw lagi mau bikin janji sama dokter dulu." 
          Currie jawab, "Tiket udah gw pesen koq ke si Benny ( teman Currie yang punya usaha tour & travel ). Besok yang pergi lu, Bertrand, Mama dan Papa. Soal hotel ntar gw urusin."  
          Currie ini adik perempuan Bertrand satu-satunya. Dari dulu orangnya cekatan sekali, apa-apa juga sigap dan cepat. Thanks a bunch ya Cur...love you. Mengetahui urusan tiket dan hotel sudah ditangani dengan baik, tanpa buang waktu lagi saya telepon Parkway. 
          ParkwayHealth adalah penyedia layanan kesehatan di Asia. Parkway mengelola tiga rumah sakit di Singapore yaitu : RS Gleneagles, Mount Elizabeth dan RS Parkway East. Apabila kita mau berobat ke Singapore, kita bisa menelepon ke ParkwayHealth Indonesia dan membuat janji temu dengan dokter yang kita kehendaki. 
          Begitu tersambung dengan Parkway, saya langsung membuat janji besok sehabis makan siang dengan dr. Chan Tiong Beng. Apa daya, ternyata dr. Chan sedang cuti. Saya menanyakan apa ada dokter paru lain yang bagus dan bapak penerima telepon Parkway mengatakan kalau Prof. Dr. Philip Eng besok ada. 
          Beliau dokter paru yang terkenal dan banyak yang dicari orang. Karena saya sama sekali tidak ada bayangan akan okter paru lain, saya pun mengiyakannya. Parkway mengatakan bahwa besok pukul 11 siang, kami sudah didaftarkan untuk bertemu Prof. Dr. Phiilp Eng. Saya berdoa pada Tuhan agar dokter Philip ini bagus dan bisa cocok dengan Bertrand. Saya pun segera googling mengenai dokter Philip ini. Wow....ternyata menurut hasil pencarian saya...he is one of the best lung doctor. Perjalanan karirnya pun saya temukan. Ternyata beliau mendapatkan beberapa penghargaan dan pernah atau masih mengepalai banyak organisasi kesehatan di bidang paru. Thanks Jesus, thanks Holly Marry...iman saya mengatakan kami mendapatkan dokter yang tepat. 
          Kabar mengenai kesehatan Bertrand segera saya ceritakan pada Papi dan Mami. Minta dukungan doa pada Papi, Mami, Ci Prissy dan Lany. Saya minta bantuan Mami untuk segera ke Jakarta dan menjaga anak-anak selama kami di Singapore. Mami panik dan segera mencari travel ke Jakarta. Kami menghabiskan siang itu dengan ke bank, tukar uang di money changer, jemput Mami di travel pada petang hari dan mempersiapkan semua hal buat keberangkatan besok 
          Kala saya sendirian, tiba-tiba saya teringat pada Pastur kami yang dahulu aktif di Antiokhia. RD. Andreas Sudarman, saya biasa memanggilnya Pastur Darman. Pastur ini akrab dengan keluarga kami di Bandung. Saya terakhir ketemu saat pemberkatan rumah Lany beberapa tahun yang lalu. Saya tidak punya no ponselnya, tidak terpikir juga untuk menanyakannya pada cici atau Lany. Jadi saya meminta dukungan doa untuk kesembuhan Bertrand lewat message di Facebook. Moga-moga Pastur nggak sibuk dan bisa membuka message-saya. 
          Seusai makan malam, saya curhat ke Mami. Saya ceritakan segala ketakutan saya akan kemungkinan Bertrand terkena kanker paru. Sambil berkaca-kaca Mami berucap, "Kamu pasrah aja sama Tuhan. Kalaupun Bertrand ternyata sakit, Mami yakin Bertrand pasti sembuh total. Bertrand masih muda, badannya kuat, papa-mama mertua juga nggak mungkin diam liat anaknya sakit. Pasti semua dukung bawa doa."
          Mami adalah seorang yang sangat perasa dan sensitif hatinya. Di depan saya, Mami bisa menghibur dan menguatkan saya walau sebenarnya saya tahu dalam hatinya, Mami pun takut dan gelisah. Beliau tidak memperlihatkannya pada saya karena mami kenal benar akan sifat saya yang gampang panik. 
          Malam hari, seperti biasa saya mengulang malam-malam kemarin...doa Novena 3x Salam Maria, doa mujijat, doa pribadi dan mata yang tak terpejam walau sudah minum obat tidur berbahan alami. Pak hansip  saya dengar memukul tiang listrik sampai tiga kali berbarengan dengan weker yang berbunyi. Kami harus segera bersiap-siap menuju negara tetangga. 







Keterangan gambar :
1. Jane, Rosi dan Lucia
2. De Elite tahun 2007
    Atas    : Devy, Anne, Sandra, Jane, Lucia
    Bawah : Rosi, Helena, Didi, Erni
3. Messageku pada Facebook Pastur Andreas Sudarman.

Hari 4 : 31 Maret 2013

Hari 4 : 31 Maret 2013
   
            Akhirnya pada pukul empat subuh saya terbangun karena suara batuk-batuk yang berasal dari kamar mandi. Saya langsung bisa menebak bahwa Bertrand pasti sedang berusaha batuk untuk menampung dahak. Namun perasaan saya mengatakan bahwa dahaknya pasti belum berhasil dikeluarkan. Dan memang benar. Tak lama kemudian Bertrand keluar dari kamar mandi dan mengatakan bahwa ia hanya bisa mendapatkan sedikit dahak walau sudah berusaha keras. Akhirnya kami pun mencoba untuk kembali tidur.
            Saya bangun pada pukul enam pagi dan langsung berangkat untuk mengantarkan tabung isi dahak ke laboratorium rumah sakit. Setibanya di sana keadaan masih sepi dan gelap. Saya mengetuk pintu laboratorium namun sepertinya belum ada orang. Namun, tak lama kemudian pintu pun dibuka oleh seorang pria. Saya pun langsung memberikan tabung berisi dahak padanya.
            "Sedikit amat, Bu. Ini sih nggak cukup untuk pemeriksaan.” Begitu protesnya saat menerima tabung dahak milik Bertrand.
            Wah, jadi harus gimana? Tapi, ya sudahlah, pikir saya,  toh besok pagi mau ke dokter Wim. Lebih baik saya tanyakan langsung pada beliau.
            Saat di perjalanan pulang, saya pun menelepon mama. Saya menceritakan semuanya. Mama pun berkata, “Kamu ini harus percaya. Wong Bertrand masih muda, pokoknya kita berobat saja sampai tuntas. Kalau soal biaya, kamu sama Bertrand tidak usah kuatir. Nanti mama bantu semua.” Mendengar kata-kata beliau sungguh perasaan saya menjadi lega.  Puji Tuhan, satu beban saya terangkat.
            Setibanya di rumah, kami semua bersiap-siap ke Gereja untuk misa Paskah. Kami misa di Gereja St. Andreas. Di sepanjang misa saya sudah tidak sabar ingin duduk bersimpuh dan berdoa pribadi di depan patung Bunda Maria dan kanak-kanak Yesus.  Saya ingin berdoa untuk kesembuhan total bagi Bertrand. Saya ingin minta umur panjang baginya dan saya juga meminta kekuatan untuk mendampingi Bertrand. (Saat menulis ini, saya baru sadar betapa egoisnya saya. Saya hanya bisa meminta, meminta, dan meminta pada Tuhan. Namun apakah selama ini saya mau mendengar permintaan Tuhan? Apakah saya tau dan sadar apa yang Tuhan inginkan dari saya?)
            Seusai misa, kami pun mengunjungi rumah mertua. Di sana saya meminta ijin untuk beristirahat di kamar tamu. Saya berbohong pada semua orang dan mengatakan bahwa saya ngantuk berat. Padahal di dalam kamar saya sibuk googling sana-sini mencari lagi gejala kanker. Saya pun berusaha membanding-bandingkan gejala yang dialami Bertrand dengan temuan di google. Saya juga googling pengobatan kanker paru paling muktahir beserta rumah sakit se-Jakarta yang paling beken dalam hal mendeteksi kanker paru.
            Mr. Google mengatakan, untuk mendeteksi kanker paling akurat saat ini adalah dengan PET/CT-Scan. PET Scan akan mendeteksi aktivitas metabolik dari sel-sel tubuh kita, dapat memberikan gambaran tepat lokasi sel-sel tubuh yang mengalami perubahan atau perkembangan tidak normal serta membantu penemuan diagnosis dan derajat beratnya penyakit dan sel-sel kanker yang aktif mempunyai aktivitas metabolik berlebihan. Di Jakarta hanya ada 2 rumah sakit yang menyediakan fasilitas PET Scan yaitu RS Gading Pluit dan RS Siloam MRCCC.
            Saya langsung menghubungi RS Gading Pluit untuk mendapatkan informasi. Menurut operator, bagian PET Scan tutup pada hari Minggu dan apabila ingin melakukan PET Scan harus ada rujukan dari dokter. Antrian untuk PET Scan di sana pun agak padat, biasanya harus buat janji kira-kira seminggu hingga dua minggu sebelumnya. Saya juga menelepon RS Siloam MRCCC, di sana operator pun mengatakan bagian PET Scan tutup dan saya diminta telepon besok ( hari Senin ) pada pukul delapan pagi.
            Kuhabiskan sisa hari Minggu ini dengan hati yang gelisah dan pikiran yang bercabang. Ingin rasanya cepat-cepat pulang dan diam sendirian di kamar. Tak sabar ingin kuberdoa pribadi, doa Novena 3x Salam Maria dan doa mujijat. Begitu kuat kerinduanku untuk bercakap-cakap dengan Tuhan dan ingin sekali menangis pada Bunda Maria.
                Seperti malam-malam sebelumnya, saya tidak bisa tidur. Sebentar-bentar melihat keadaan Bertrand apalagi dari tenggorokannya terdengar seperti gumaman-gumaman. Pak hansip hari ini rajin sekali memukul tiang listrik sampai 3 kali.

Minggu, 30 Maret 2014

Hari 3 : 30 Maret 2013

Hari 3 : 30 Maret 2013
             
            Pagi ini, entah kenapa, saya terbangun dengan hati ceria. Wajah Bertrand pun terlihat senang. Suhu badannya kembali normal, kepala tidak pusing, dan badannya sudah tidak lemas. Percakapan singkat kami di pagi hari :
Rosi         : "Makan mie yuk. Lapar, nih."
Bertrand : "Ntar aja deh. Kita ke RS Graha Kedoya lagi yuk. Saya mau foto paru aja, abis batuk nggak sembuh-sembuh. Sekalian bawa hasil test lab yang kemarin buat diliatin ke dokter. Capek, udah 3 minggu nih. Abis dari situ baru jajan."
Rosi         : "Oke, deh"
            Setibanya di rumah sakit, kami langsung menuju IGD. Dokter jaga hari itu adalah dokter Suwoto. Bertrand memberikan hasil laboratorium dan menceritakan apa yang dirasakannya selama ini hingga kemarin ia jatuh pingsan. Bertrand juga menyatakan kebingungannya karena batuknya nggak kunjung sembuh. Karena alasan itulah ia ingin ronsen paru saja. Dokter Suwoto pun menyetujui dan membuat surat pengantar foto ronsen.
            Kira-kira setengah jam kemudian hasil foto pun keluar. Menurut dokter, semua hasil darah baik kecuali Hb yang rendah. Saya pun bertanya, “Dok, kira-kira ada hal-hal yang membahayakan jiwa nggak?” Dokter menjawab sambil tertawa, "Ah, kamu sih jadi istri terlalu sayang suami. Dari hasil darah sih oke. Hb rendah mungkin karena ada infeksi yang belum beres. Coba kita lihat hasil ronsen, ya. "
Lalu dokter menaruh hasil ronsen di atas lampu, di sana beliau sedikit terdiam lalu berkata, "Saya liat sih di paru kanan ada bayangan lho. Baiknya sih konsul ke dokter paru saja. Dokter paru lebih bisa menjelaskan ini bayangan apa, lalu langkah selanjutnya harus apa.”
“Dokter paru pagi ini ada yang praktek nggak, Dok?" tanya Bertrand. Suster IGD pun membantu menghubungi klinik dokter paru dan berkata bahwa ada dokter Wim Lambey yang praktek. Kemudian suster itu membantu membuatkan janji temu.
            Kami pun segera menuju ke lantai dua tempat dokter Wim Lambay praktek. Tak lama kemudian kami pun dipanggil. Ternyata dokter Wim sudah senior, mungkin sudah hampir 70 tahun. Bertrand pun merincikan kembali apa yang dirasakannya dan memberikan semua hasil test darah dan ronsen paru.
            Pemeriksaan fisik pun dilakukan. Menurut dokter, selaput dalam hidung berwarna merah mengindikasikan adanya inflamasi (radang). Hal ini bisa dikarenakan alergi. Setelah itu dokter melihat hasil ronsen paru. Sama seperti yang dikatakan oleh dokter Suwoto, dokter Wim menyatakan bahwa ada bayangan berwarna putih di paru-paru kiri. Untuk memastikan bayangan itu apa dan berukuran berapa, harus dilakukan CT Scan.
            CT Scan diperlukan untuk melihat gambaran organ tubuh yang tidak dapat dilihat dengan standar pemeriksaan X-Ray biasa. CT Scan juga dapat melihat, mendeteksi, dan mendiagnosa beberapa jenis kelalaian dalam tubuh kita. Sebelum pemeriksaan CT Scan, pasien yang akan diperiksa wajib puasa terlebih dahulu. Untungnya terakhir kali Bertrand makan adalah kemarin malam. Jadi dia bisa langsung melakukan CT Scan hari ini. 
            "Saya akan beri surat pengantar CT Scan di lantai satu. Hasilnya bawa  ke saya hari Rabu sore. Saya juga kasih pengantar ke laboratorium untuk test dahak. Setiap pagi begitu bangun tidur, berusahalah batuk sekeras mungkin supaya cairan dari dada keluar. Taruh di tempat yang nanti diberi oleh laboratorium. Test dahak dilakukan tiga hari berturut-turut, jadi mulai besok, Minggu -Senin -Selasa. Jadi pagi-pagi, saat bangun tidur batuk, taruh dahak di tabung dan langsung antar ke laboratorium," ujar dokter. Bertrand bertanya untuk apa test dahak itu dilakukan. Menurut penjelasan dokter, test itu untuk memeriksa kemungkinan TBC atau hal lainnya.
            Saat sebelum CT Scan, perlu dilakukan pemasukan cairan kontras dahulu. Pemasukan cairan kontras melalui suntikan diperlukan untuk memperjelas gambaran pembuluh-pembuluh darah dan struktur organ-organ tubuh seperti otak, paru-paru, tulang belakang, hati, lambung dll.        
Setelah disuntik, Bertrand diwajibkan berbaring selama kurang lebih setengah jam agar cairan dapat mengalir rata di dalam pembuluh darah. Proses CT Scan berlangsung kira-kira 45 menit dan setelah CT Scan, pasien diwajibkan minum air putih sebanyak-banyaknya. Tujuannya agar tidak merusak fungsi ginjal. Hasilnya keluar kira-kira pukul lima sore.  
            Saat tengah hari, kami memutuskan untuk pulang ke rumah mertua. Kami makan siang di sana sambil mengobrol santai. Hubungan kami memang dekat sekali. Apabila teman-teman saya mengunjungi orangtua atau mertua seminggu sekali, saya bisa menemui mertua tiga atau empat kali seminggu mengingat rumah kami berdekatan. Seusai makan, kami pun pulang.
            Pada sore harinya, kami mengantar anak-anak ke rumah mertua karena kami harus pergi ke RS Grha Kedoya untuk mengambil hasil CT Scan. Saat hasilnya sudah di tangan saya, cepat-cepat saya buka. Hasilnya hanya satu halaman. Di dalamnya tertera berbagai istilah kedokteran yang tidak saya mengerti. Jadi saya mencoba mengartikan bagian  kesimpulan saja.
            Pada bagian kesimpulan tertera :
-Tampak mass dengan perbatasan tak rata, ukuran 4.31 cm x 6.52 cm x 5.69 cm pada lobus superior paru-paru kiri (segment 3), dengan perifokal infiltrat, menempel pada dinding mediastinum kiri, tak bisa menyingkirkan sebagai malagnancy, usul dilakukan biopsi untuk konfirmasi.
-Tampak Lymphadenopathia signifikant pada paratrachea kanan & precarinal bilateral.
          Entah kenapa, membaca kesimpulan itu membuat saya tenang. Saya bahkan menghibur Bertrand supaya tidak khawatir. Saya yakinkan bahwa semuanya baik-baik saja. Dulu saya pun pernah mengalami benjolan di payudara. Namun setelah melakukan pemeriksaan sana-sini ternyata hanya gumpalan air susu. Saya juga pernah memiliki kista di rahim sampai merasa panik setengah mati. Apalagi saat itu anak-anak masih balita. Ternyata setelah dicek ke sana sini bahkan sempat ke Singapore segala, kista itu tidak berbahaya. Hanya kista hormonal dan bisa diatasi dengan minum pil KB. Puji Tuhan sekarang kista itu sudah lenyap.
        Kami pun pulang ke rumah mertua untuk makan malam dan menghabiskan malam Minggu di sana. Di rumah mertua, saya iseng nyeletuk pada Bertrand, "Buka Google gih, liat itu istilah-istilah yg aneh-aneh di hasil Ct-Scan." Saat itu saya sedang asyik nyamil makanan di meja makan. Bertrand pun menuruti saranku dan sibuk dengan Iphone-nya.
       " Ketemu nggak istilah-istilahnya," celetuk saya iseng.
       "Ada. Magnancy udah ketauan artinya. Artinya kanker ganas, " jawab Bertrand. Seketika itu juga saya lemas. Hah? Nggak salah nih?! Di Ct-Scan ditulis dengan jelas kalau tak bisa menyingkirkan sebagai malagnancy. Gimana kalau Bertrand benar-benar terkena kanker paru? Gimana dengan kelangsungan hidup saya? Gimana dengan anak-anak kami yang masih kecil-kecil? Ya Tuhan, saya langsung lemas membayangkan yang tidak-tidak.
       Buru-buru saya buka google dan mengetik nama Prof. Dr. Wim Lambey. Saya ingin segera bertemu dia untuk memperlihatkan hasil CT Scan. Dari hasil googling ditemukan jadwal prakter dr Wim. Beliau praktek hari Sabtu sore di Apotek Trisakti - Grogol sampai jam 18.00. Pada saat ini jam menunjukkan hampir pukul enam sore. Saya pun langsung menelepon Apotek Trisakti dan menanyakan keberadaan dr Wim. Apa daya, dokter sudah hampir pulang dan tidak bisa menunggu kami.
        Bertrand pun menyuruh saya sabar karena test dahak yang tiga hari pun belum dilakukan. Hasil test dahak baru ada hari Rabu. Lebih baik sekalian menunggu hari Rabu baru menemui dokter sesuai perjanjian awal.
          Duh, gimana saya bisa sabar? Jujur, saya takut sekali. Saya pun buka-buka google untuk mencari ciri-ciri kanker paru. Dari berbagai ciri-ciri kanker paru, tidak ditemukan kecocokan dengan keadaan fisik Bertrand saat ini.
            Ciri-ciri kanker paru pada umumnya adalah :
- Batuk berdahak terus menerus, bisa juga mengeluarkan darah.
   Bertrand memang batuk tapi batuk kering.
- Selera makan menurun sehingga berat badan pun turun.
   Bertrand selera makannya baik, berat badan pun stabil.
-  Suara serak
   Suara Bertrand tidak serak
- Pembengkakan di wajah dan leher
  Tidak adanya pembengkakan
- Kuku tangan berwarna biru kehitaman
  Warna kuku normal
        Walaupun ciri-ciri tersebut seharusnya menenangkan hati saya, tapi pada kenyataannya sama sekali tidak. Pikiran saya kalut, hati saya jauh dari tenang. Saya ingin pulang cepat-cepat. Saya mau menangis, mau berdoa Novena, dan mau berkeluh kesah pada Tuhan.
       Sepulang dari rumah mertua, saya menunggu anak-anak tidur sebelum mulai berdoa. Saya melakukan doa Novena 3x Salam Maria, doa Mujizat, dan doa pribadi pada Tuhan agar Bertrand terbebas dari kanker. Entah berapa banyak air mata yang saya cucurkan. Saya takut sekali. Bagaimana kalau Bertrand kanker? Bagaimana proses dan biaya pengobatan? Bagaimana kalau Bertrand meninggal? Bagaimana nasib saya dan anak-anak? Tak kuat saya membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi.
         Selesai berdoa, Bertrand dan saya pun bercakap-cakap. Saya menanyakan perasaannya saat ini. Saya benar-benar ingin memahami Bertrand. Walaupun kami sudah menikah selama sebelas tahun tapi terkadang saya masih harus menebak-nebak pikiran dan perasaan dia. Bertrand memang humoris dan suka bercanda tapi untuk hal-hal pribadi, kadang dia sukar mengutarakannya.
            Bertrand berkata,  Feling gua baik-baik saja. Nggak lah kena kanker. Tapi kalau iya, nanti kamu sama anak-anak gimana? Gimana kalau harus berobat sama kemoterapi? Uang yang keluar gede sekali."
            Saya pun menjawab, "Nggaklah. Jauh dari kanker. Kamu tenang aja, jangan stress.”        Sambil berkata begitu, saya setel muka tenang dan tersenyum walaupun hati saya hancur, menangis, dan menjerit. Good acting, Rosi....dan hari ini saya mendengar pak hansip  memukul tiang listrik 2 kali juga seperti kemarin.


Sabtu, 29 Maret 2014

Hari 2 : 29 Maret 2013



            Selesai makan pagi, kami sekeluarga memutuskan untuk bersantai di rumah dan menonton DVD kegemaran anak-anak. Kami memang tidak ingin keluar rumah karena kondisi Bertrand yang kurang sehat. Jadi rencana kami hanya misa Jumat Agung pukul tiga sore dan mengunjungi rumah mertua untuk santap malam sekalian merayakan ulang tahun saya. Ya, hari ini  saya berulang tahun yang ke tiga puluh tujuh tahun.
            Sekitar waktu makan siang, saya turun ke lantai bawah untuk membawa Pinky -  anjing kesayangan keluarga kami, ke taman untuk buang air kecil. Selagi saya di taman, ternyata Bertrand pun turun ke lantai bawah untuk makan. Begitu saya masuk ke kamar tamu, saya lihat Bertrand jalan sempoyongan dan duduk di sofa. Mukanya sepucat kapas dengan keringat dingin terlihat membasahi muka dan kausnya.
             Saya panik dan takut setengah mati. Apalagi ketika matanya terbelalak dengan bola mata yang menghilang di balik kelopak matanya. Mulutnya kaku dan bicaranya terbata-bata.
            Ya ampun! Saya takutnya minta ampun. Apa Bertrand terkena heart attack? Atau ini gejala stroke? Ya, Tuhan, tolong, jangan sampai sesuatu yang buruk menimpa Bertrand! Saya menepuk-nepuk pipinya dan menanyakan keadaannya. Jawab Bertrand, "Nggak apa-apa, cuman pusing aja koq. Kayaknya semua putih."
Pembantu segera memberikan air hangat pada Bertrand  dan saya segera berlari naik ke kamar yang terletak  di lantai 2 sambil berseru, " Ok, sekarang juga ke rumah sakit deh." Sambil tergesa-gesa ganti pakaian, saya menghubungi Mama. Saya ceritakan semuanya pada beliau dan memberitahukan bahwa kami akan segera menuju rumah sakit.  
            Selesai ganti baju, saya balik lari lagi ke lantai dasar. Namun ternyata Bertrand menolak diajak ke rumah sakit. Ia mengatakan keadaannya sudah baik-baik saja dan dia mau makan saja. Sia-sia saya membujuknya, Bertrand tetap bersikeras menolak. Akhirnya saya mengalah. Saya pikir setelah makan siang mungkin badan Bertrand lebih kuat dan bertenaga.
            Saat kami tengah menyantap makan siang, Mama datang membawa pengukur tensi darah. Saat Mama mengukur tensi Bertrand, jemari Bertrand saling bertautan dan kaku kembali. Wajahnya pias dan berkeringat dingin. Badannya pun limbung. Kami semua jelas luar biasa panik. Kami pun memutuskan untuk membawa Bertrand ke rumah sakit terdekat - RS Grha Kedoya. 
            Begitu tiba di IGD RS Grha Kedoya, perawat segera mengukur tensi darah dan suhu badan Bertrand. Saat itu tensi darah Bertrand 90/60 dan suhu badannya 37.8. Menurut dr. Rokanita - dokter jaga saat itu, Bertrand limbung mungkin karena tensi yang rendah. Jadi Bertrand harus diinfus supaya tekanan darah stabil. Setelah beberapa saat diinfus, keadaan Bertrand pun semakin baik. Mukanya tidak pucat lagi dan tekanan darah sudah mencapai 110/80. Sambil menunggu Bertrand diinfus, Ko Alva berbaik hati pergi ke RS Puri Indah untuk mengambil hasil tes darah. Hasil test pun kami perlihatkan pada dokter Rokanita. Dokter menyatakan tidak ada sesuatu yang mencurigakan dari test darah tersebut hanya Hb saja yang dibawah normal.
            Menurut dokter, Hb rendah bisa disebabkan karena adanya pendarahan atau infeksi di dalam tubuh. Dokter pun bercanda pada mertua saya, "Kalau dilihat dari badan Tante sih nggak mungkin anaknya tekanan darah rendah karena kurang gizi toh."
            Saya pun berpikir demikian. Menu makanan di rumah selalu komplit dengan menu gizi seimbang. 4 sehat 5 sempurna deh pokoknya. Bertrand pun termasuk orang yang sangat menjaga makanan. Ia sebisa mungkin menghindari makanan yang berlemak atau digoreng. Karena itu, saya berasumsi bahwa mungkin gejala yang dialami Bertrand disebabkan oleh IBS ( Irritable Bowl Syndrom / radang usus besar ) yang pernah diderita Bertrand tahun lalu.
            Setelah urusan administrasi rumah sakit beres, kami pun pulang ke rumah mertua. Rumah mertua saya dekat dengan RS Grha Kedoya. Kami santai-santai nonton TV sambil ngobrol dan makan makanan ringan.  Menjelang malam, kami diantar Ko Alva pulang ke rumah.
            Malam harinya, Mertua datang kembali ke rumah kami untuk melihat keadaan Bertrand. Saat itu kondisi Bertrand baik-baik saja selain demam ringan. Papa sempat menghubungi sepupu kami di Surabaya untuk mencari informasi mengenai demam berdarah. Rupanya Papa curiga Bertrand terkena demam berdarah. Namun gejala DBD adalah demam tinggi dan jumlah trombosit yang rendah, tidak cocok dengan gejala yang dialami Bertrand. Kami pun semakin penasaran pada penyakit Bertrand. Selama ini Bertrand jarang sekali sakit. Kalau pun sakit hanya sebatas radang tenggorokan atau radang usus.
            Tak lama kemudian, Ko Alva beserta istri dan anak-anaknya datang menjenguk.    Mereka membawakan kue ulang tahun buat saya tapi saya sudah tidak mood. Saya bilang  pada mereka, kuenya akan saya bawa besok saja ke rumah mertua. Tiup lilinnya besok saja. Tidak masalah.
            Malam itu  saya tidak bisa tidur tenang. Sebentar-sebentar terbangun untuk meraba dahi Bertrand dan memastikan demamnya tidak tinggi lagi. Sementara itu Bertrand tidur lumayan tenang walau kadang-kadang terdengar gumamam dari tenggorokannya.  Saya pikir mungkin karena dia kecapekan dan sedang tidak sehat. Semoga besok Bertrand sudah sehat dan segar. Saya tertidur antara pukul 2 dan 3 pagi karena sempat terdengar hansip memukul tiang listrik sebanyak dua kali. Sehabis itu saya tidak ingat lagi...apa saya tertidur atau hansip yang ketiduran sehingga lupa mukul tiang pada pukul 3 pagi. Zzzzzz....
                                    
Keterangan gambar
Birthday cake dari suprise party ulang tahun Bertrand 2014 dari teman-teman SMA Bunda Hati Kudus angkatan 1990.